Rabu, 16 Desember 2009

Pemantapan Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan

Pada tanggal 03 Desember lalu telah diselenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi yang merupakan agenda tahunan dari Sekretariat TKPK Nasional dan sekaligus sebagai forum koordinasi kebijakan dan program serta pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah.

Tujuan pelaksanaan Rakornas TKPK Provinsi adalah memantapkan beberapa agenda sehubungan dengan adanya agenda percepatan program-program pemerintah baik dalam program seratus hari maupun program lima tahun ke depan. Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang akan semakin memantapkan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai instrumennya, baik kebijakan maupun kelembagaan di tingkat pusat maupun daerah.

Perubahan tata pemerintahan dari Kabinet Indonesia Bersatu I menjadi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, menyebabkan adanya perubahan kebijakan dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kabinet Indonesia Bersatu II telah diberi mandat untuk membuat program kerja seratus hari, satu tahun, dan lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut menimbulkan adanya beberapa perubahan atau pemantapan mendasar dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sasaran penanggulangan kemiskinan telah ditetapkan di dalam RKP 2010 maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Pada tahun 2014, angka kemiskinan diturunkan pada angka 8-10 persen, pengangguran 5-6 % dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,3 %- 6,8 % serta inflasi rata-rata 4-6 %. Dengan target tersebut tentu akan membutuhkan berbagai penyesuaian, percepatan, pemantapan, dan penguatan kelembagaan agar sasaran tersebut bisa dicapai.

Upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat bukanlah semata-mata tanggung jawab Pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah Daerah, kalangan dunia usaha, dan kalangan masyarakat sipil, termasuk masyarakat miskin itu sendiri.

Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dan perwujudan pencapaian program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II, kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang terdiri dari para pemangku kepentingan perlu lebih diperkuat. Untuk itu, di tingkat pusat, kelembagaan TKPK Nasional akan lebih diperkuat dan ditingkatkan di bawah koordinasi dan pengendalian Wakil Presiden. Sedangkan kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah tetap dilaksanakan oleh TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai wadah koordinasi dan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah.

Meski demikian pada prinsipnya upaya penanggulangan kemiskinan tetap mengacu pada tiga kluster program yang ada yaitu pertama, mengembangkan bantuan sosial. Kedua, meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri atau yang lebih dikenal dengan PNPM Mandiri. Ketiga, meningkatkan akses usaha mikro dan kecil terhadap sumber daya produktif.

Dengan demikian, guna menjamin koordinasi dan harmonisasi upaya penanggulangan kemiskinan dalam rangka program seratus hari, satu tahun dan lima tahun ke depan maka dibutuhkan beberapa langkah strategis antara lain; Pertama, penguatan kelembagaan TKPK daerah. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah teknis di daerah dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan. Bagi daerah yang belum terbentuk TKPK kab/kota diharapkan segera diwujudkan sedangkan bagi yang sudah terbentuk perlu dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan yang ada.

Kedua, pentingnya integrasi atau pemantapan mengenai bantuan sosial terpadu bagi masyarakat miskin berbasis keluarga. Penyaluran bantuan yang berbasis rumah tangga perlu dipertajam dengan berbasis keluarga. Sesuai dengan hasil evaluasi yang dilakukan, program-program bantuan yang ada di kluster satu ini belum terintegrasi dengan baik. Antara program yang dijalankan dalam menggunakan data cakupan penerima program belum berbasis pada data yang sama. Dengan demikian, mekanisme pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.

Ketiga, meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri atau yang lebih dikenal dengan PNPM Mandiri. PNPM Mandiri memang telah dilaksanakan di seluruh kecamatan. Namun demikian, tantangan berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pelaksanaan PNPM Mandiri termasuk meningkatkan peran Pemda agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat lebih ditingkatkan.

Oleh karena itu, sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan No 168/PMK 07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama (DDUB) untuk penanggulangan kemiskinan sangat penting dilakukan mengingat hal ini memuat tatacara dalam pendanaan program bersama. Keberadaan Peraturan Menteri Keuangan tersebut sekaligus menjadi payung hukum terhadap sharing pendanaan PNPM Mandiri antara pusat dan daerah. PMK ini hanya berlaku untuk PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan.

Dengan adanya PMK tersebut, pemerintah daerah diharapkan tidak ragu lagi untuk menyediakan dan mewujudkan sharing anggaran untuk PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan. Karena itu, jika memang masih ada daerah yang tidak sanggup atau tidak bisa menyediakan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) untuk penanggulangan kemiskinan maka PNPM Mandiri yang ada di daerah tersebut akan dikurangi dan dialihkan kepada daerah lain yang lebih membutuhkan, kecuali bagi daerah yang tertimpa bencana.

Adanya perubahan kebijakan dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan tersebut tentu membutuhkan persiapan maksimal dari setiap daerah. Untuk itu, secara kelembagaan TKPK Provinsi harus memantapkan koordinasi dan sinerginya di tingkat provinsi masing-masing.


Penutup

Pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi 2009 kali ini memang tidak membahas semua permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan yang ada namun lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan di dalam upaya memantapkan kelembagaan TKPK Provinsi, meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Oleh karena itu perlu dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan bagi TKPK Provinsi sebagai forum dialog lintas pelaku yang efektif agar mempu menjalankan fungsi koordinasi kebijakan dan program serta pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah.

TKPK Provinsi harus mampu menjadi lembaga yang professional, transparan, dan akuntabel serta memiliki sumberdaya manusia yang permanen dalam pengelolahan sekretariat TKPK di daerah.

Dengan demikian diharapkan TKPK Provinsi mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai upaya koordinasi penanggulangan kemiskinan dalam aspek integrasi pada tahap perencanaan, sinkronisasi pada tahap pelaksanaan dan sinergi antar pelaku. (dimuat di Majalah Komite edisi 15-31 Des 2009)

Mengoptimalkan Pemberdayaan Perempuan



Penduduk perempuan di Indonesia yang jumlahnya mencapai separoh lebih populasi penduduk merupakan potensi yang sangat besar untuk kemajuan pembangunan. Akan tetapi perempuan seringkali tidak mendapatkan akses yang optimal dalam proses pembangunan.


Kemiskinan masih menjadi salah satu persoalan utama di Indonesia. Jumlah penduduk penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Jumlah tersebut dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.

Selain itu pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

Meski demikian pemerintah terus meningkatkan upaya pengurangan penduduk miskin melalui beragam program penanggulangan kemiskinan yang ada. Pemeritah bahkan mematok target penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 menjadi menjadi 12-13,5 persen.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah tetap menerapkan tiga langkah utama yaitu pemberian bantuan kepada golongan sangat miskin, adanya pembelajaran untuk kerja mandiri untuk masyarakat dan infrastruktur, dan kredit usaha rakyat (KUR). Selain itu, penciptaan lapangan kerja juga menjadi fokus perhatian karena dengan tersedianya lapangan kerja maka kemiskinan akan dapat dikurangi.

Proses pelaksanaan ketiga kelompok program ini memang sudah dapat dikoordinasikan secara mantap dan sudah berjalan dengan baik di masing-masing institusi pelaksana program.

Penanggulangan kemiskinan memang sudah seharusnya menjadi prioritas program pemerintah. Hal ini karena pengaruh kemiskinan sangat berdampak besar terhadap keharmonisan tatanan sosial. Kemiskinan bahkan menyebabkan timbulnya kerawanan sosial bagi masyarakat.

Kemiskinan juga menjadi salah satu alasan masih rendahnya Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Berdasarkan Human Development Report 2009, angka Human Development Index (HDI) Indonesia memang mengalami kenaikan dari 0.729 menjadi 0.734, namun tetap berada pada peringkat ke 111 dan berada dalam kategori menengah seperti tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia.


Kualitas Hidup Perempuan

Kemiskinan jelas memberi efek yang buruk bagi kehidupan seseorang. Ketika predikat miskin disandang seseorang atau keluarga maka sosok yang menerima dampak ‘terberat’ dari kemiskinan tersebut adalah perempuan. Kaum perempuan senantiasa selalu berada dan merasakan dampaknya mengingat setiap saat perempuan bergelut dan terus harus mencukupi kekurangan dalam rumah tangga dengan berbagai cara berusaha untuk menghemat demi terpenuhinya kebutuhan.

Kemiskinan juga berpengaruh besar terhadap kualitas hidup kaum perempuan. Karenanya fokus terbesar dari Millenium Development Goals (MDGs) juga memberi perhatian yang lebih pada perempuan. Kaum perempuan dinilai masih sangat rentan terhadap persoalan kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksetaraan gender.

Kemiskinan pun kerapkali berimbas pada kualitas kehidupan mereka yang berakibat rendahnya pendidikan dan kesehatan. Indikasinya dapat dilihat pada masih tingginya angka kematian ibu (AKI). Di negara miskin, sekitar 25-50 persen kematian perempuan usia subur disebabkan oleh masalah terkait kehamilan, persalinan dan nifas.

Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin yang artinya setiap menit ada satu perempuan yang meninggal.

Di Indonesia sendiri angka kematian ibu (AKI) juga masih tergolong tinggi. Angka Kematian Ibu (AKI) menurut survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) mutakhir masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Tahun ini pemerintah melalui Departemen Kesehatan menargetkan pengurangan angka kematian ibu dari 26,9 persen menjadi 26 persen per 1000 kelahiran hidup.

Kualitas hidup kaum perempuan sampai saat ini memang masih jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi secara optimal dalam proses pembangunan. Akibatnya, jumlah perempuan yang bisa menikmati hasil pembangunan pun masih terbatas. Kondisi yang demikian tentu cukup memprihatinkan mengingat lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan.

Melihat realitas yang demikian, maka upaya mengentaskan perempuan dari jeratan kemiskinan menjadi keharusan yang harus menjadi komitmen seluruh pemangku kepentingan di negeri ini. Hal ini mengingat sesunggunya kemiskinan yang dialami kaum perempuan bukan hanya kemiskinan ekonomi. Namun mereka juga miskin atau dimiskinkan dari akses pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Sehingga mereka tidak memiliki ketrampilan yang memadahi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang produktif secara ekonomi. Terlebih lagi kaum perempuan tetap dituntut tetap memenuhi kodratnya sebagai perempuan yaitu hamil, menyusui hingga mengurus keluarga.


Penutup

Kondisi kaum perempuan di Indonesia mayoritas masih hidup dalam belenggu kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan upaya keras dari seluruh pemangku kepentingan agar mereka mampu bangkit dari kemiskinan. Untuk itu beragam program pemberdayaan masyarakat maupun penanggulangan kemiskinan harus tetap berbasis keadilan gender. Perempuan jangan dipahami sebagai makhluk lemah namun sebagai aset dalam proses pembangunan.

Dengan demikian upaya yang penting dilakukan adalah menciptakan mekanisme ekonomi yang menyediakan akses kepada perempuan miskin serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengangkat dirinya menjadi tenaga-tenaga produktif dalam proses pembangunan bangsa.

Harapan terhadap kaun perempuan miskin untuk bangkit tentu bukan hanya angan semata jika peluang dan akses tersedia. Kita tidak perlu segan berguru pada pada Muhammad Yunus yang rela mendirikan Grameen Bank yang memberikan akses modal bagi kaum perempuan miskin di Bangladesh.

Kesuksesan Grameen Bank dalam meningkatkan status sosial dan ekonomi kaum miskin tersebut dapat dijadikan inspirasi dari semua pemangku kepentingan untuk melakukan peran nyata dalam setiap usaha pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, upaya pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kemiskinan berbasis gender akan dapat secara nyata dialami kaum perempuan di Indonesia. (dimuat di Majalah Komite edisi 1-14 Des 2009)

Optimalkan Kredit Bagi UKM

"Tiap tahun penyaluran dana KUR diharapkan mencapai Rp20 triliun, sehingga dalam 5 tahun ke depan mencapai Rp100 triliun, untuk membantu permodalan modal usaha masyarakat,” (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, National Summit, Jakarta, 29/10).


Pemerintah menetapkan target penurunan angka kemiskinan di Indonesia menjadi 8-10% dan angka pengangguran 5-6% dalam jangka lima tahun ke depan. Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah terus berkomitmen dan memastikan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan melalui tiga kluster yaitu kluster satu, bantuan dan perlindungan sosial, kluster kedua pemberdayaan masyarakat, dan kluster ketiga penguatan usaha mikro dan kecil dapat berjalan dengan baik.

Harus diakui bahwa sejak pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dijalan melaui tiga kluster tersebut angka kemiskinan di negeri ini senantiasa menurun. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2009, yang mengungkapkan jumlah penduduk miskin sebesar 32,53 juta (14,15 persen) atau mengalami penurunan sebesar 2,43 juta bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya berjumlah 34,96 juta (15,42 persen).

Dari tiga kluster penanggulangan kemiskinan yang ada, program kredit Usaha Rakyat yang masuk dalam kluster ketiga sempat menjadi sorotan dan dinilai kurang optimal. Pemerintah dan perbankan dinilai kurang optimal mendorong pertumbuhan KUR dengan alasan masih rendahnya realsiasi KUR pada semester pertama 2009. Dari enam bank penyalur, total dana yang tersalurkan dari program ini baru 2,26 triliun.

Akar permasalahan dari melambatnya pertumbuhan KUR pada tahun kedua adalah terletak pada aturan Bank Indonesia yang tidak membolehkan nasabah yang telah mengambil kredit apakah kredit konsumtif misalnya kredit pemilikan sepeda motor, rumah dan sebagainya maupun kredit usaha produktif untuk mengambil KUR, terlepas nasabah yang bersangkutan itu lancar atau tidak dalam mengembalikan pinjamannya.

Aturan ini juga mencakup calon nasabah KUR yang 5 juta ke bawah, padahal KUR. 5 juta ke bawah yang paling banyak diminati dan kreditnya dijamin oleh pemerintah. Karena itu, yang disasar oleh pemerintah adalah jenis nasabah KUR yang 5 juta ke bawah yang mampu mendorong pertumbuhan usaha mikro, memperluas lapangan kerja dan dapat menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan.

Bilamana aturan BI ini khusus KUR untuk 5 juta ke bawah dilonggarkan karena sudah ada jaminan dari pemerintah, bukan tidak mungkin KUR yang 5 juta ke bawah akan 'booming' dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta menurunkan kemiskinan secara berarti.

Gejala melemahnya realisasi penyaluran KUR dibandingkan tahun sebelumnnya tentu harus disikapi dengan langkah yang tepat agar upaya menumbuhkembangkan usaha kecil dapat terwujud. Terlebih lagi, program KUR diyakini mampu mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui terbukanya lapangan kerja baru. Hal itu sesuai dengan tujuan KUR yaitu mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, meningkatkan akses pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi dan penanggulangan kemiskinan serta perluasan kesempatan kerja.

Kondisi yang demikian langsung direspon dengan cepat oleh pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan KUR sebagai salah satu program pilihan yang menjadi prioritas dalam 100 hari pemerintahannya. Optimalisasi KUR diawali dengan perbaikan mekanisme dan regulasi dengan penataan lembaga-lembaga penyalur pinjaman serta sinergi antara bank milik negara dan swasta serta lembaga penjaminan yang lain.

Bahkan pada tahun 2010 akan ada sekitar Rp 2 triliun yang akan kita gunakan untuk mengalirkan kredit usaha rakyat dengan kelipatan sepuluh kali yakni sebanyak Rp 20 triliun setiap tahun. Dengan begitu dalam jangka waktu lima tahun, KUR akan mencapai Rp 100 triliun.

Penyaluran pinjaman ini sangat penting berkaitan dengan upaya lima tahun mendatang untuk meningkatkan kewirausahaan atau entrepreneurship. Dengan dukungan terhadap usaha diharapkan penghasilan rumah tangga makin baik sehingga kemiskinan dan pengangguran berkurang.


Diperluas

Sudah dua tahun program Kredit Usaha Rakyat diimplementasikan untuk mendorong sektor riil. Namun, program ini masih belum berjalan secara optimal. Realisasi pengucuran KUR terbukti semakin rendah dibandingkan saat digulirkan pertama kali pada awal November 2007.

Program KUR sebenarnya telah menjadi harapan masyarakat untuk bisa membuka usaha atau mengembangkan usahanya. Namun selama program KUR dijalankan masyarakat masih banyak yang masih mendapatkan kendala dalam memperolehnya. Selain bunga KUR yang tinggi, untuk memperoleh KUR juga sangat sulit karena bank masih meminta aset sebagai jaminan. Padahal, jenis kredit tersebut dijamin pemerintah melalui PT Jamkrindo dan PT Askrindo.

Kita semua tentu menyadari bahwa pemasalahan kolateral (penjaminan) memang kerapkali menjadi penghalang bagi pegiat UKM untuk mendapatkan kredit. Karena itu, pemerintah melalui Kenterian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menyiapkan lima program pembiayaan guna mengatasi hambatan kolateral UKM pada 2010 antara lain peningkatan akses kredit usaha rakyat (KUR), menghidupkan kembali lembaga penjaminan kredit daerah (LKPD), mengoptimalkan koperasi jasa keuangan, pengembangan perbankan syariah, dan tanggung renteng.

Khusus dalam upaya meningkatkan akses KUR, khususnya segi sisi suku bunga. Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan enam bank penyalur sepakat mengevaluasi suku bunga yang diberlakukan. Seharusnya keberpihakan perbankan terhadap usaha rakyat bisa ditunjukkan dengan cara menekan kembali suku bunga kredit. Saat ini rata-rata tingkat suku bunga KUR yang ditawarkan oleh bank-bank pelaksana ditetapkan maksimal 16%. Padahal suku bunga acuan BI rate berada dalam kisaran 6,5%.

Selain itu, pemerintah akan memperluas jumlah bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada tahun depan. Selain bank-bank BUMN, perbankan swasta juga akan dilibatkan dalam realisasi penyaluran agar penyaluran KUR lebih efektif dan tepat sasaran. Selama ini, hanya BRI yang cukup besar mendominasi penyaluran kredit mikro dan KUR. Sebagaimana terungkap dalam data Kemenkop dan UKM, penyaluran KUR lewat BRI 74,74 persen terdiri dari KUR ritel 22,08 persen dan mikro 52,6 persen.

Kondisi tingkat kredit macet atau non performing loan (NPL) KUR yang mencapai 5%, average untuk semua bank seharusnya tidak disikapi perbankan dengan memperketat dan semakin selektif terhadap pemberian kredit. Sebab resiko yang harus ditanggung lebih ringan karena dijamin pemerintah yang mengucurkan penjaminan kepada asuransi sedangkan perbankan hanya menutup risiko sebesar 30%.

Di samping meningkatkan penyaluran KUR, langkah lain yang dilakukan agar UKM di perdesaan dapat mengakses kredit diwujudkan dengan membentuk LKPD pada tahun 2010. setiap provinsi diproyeksikan memiliki dua LKPD bermodal 100 miliar. Dengan gearing ratio 10 kali lipat maka diharapkan kredit yang disalurkan bisa mencapai RP 1 triliun.

Pemerintah juga akan semakin mengoptimalkan linkage program antara perbankan dan koperasi hingga mampu menciptakan pasar sendiri. Sejak 2006 hingga April 2009, upaya linkage program lewat koperasi, bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah secara realisasi berjumlah lebih Rpl 1,7 triliun. Dengan sebaran antara lain, lewat KUR Rp2,76 triliun, non KUR Rp8,9 triliun dan melalui bank umum dan koperasi mencapai Rp 1,9 triliun.


Penutup


Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikucurkan sejak tahun 2007 lalu ini diharapkan mampu menjadi angina segar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun perjalanan realisasi kredit memang belum sempurna. Masih cukup banyak kendala yang dihadapi seperti tingkat kredit macet atau non performing loan (NPL) yang terus meningkat, suku bunga yang masih tinggi, serta banyaknya pelaku usaha kecil yang terkendala mekanisme saat mengajukan kredit.

Di samping itu, aturan BI yang melarang nasabah yang masih punya kredit untuk mengambil kredit baru, terlepas dia lancar atau tidak dalam mengembalikan kreditnya harus dicabut dan dilonggarkan untuk mendorong pertumbuhan KUR terutama yang 5 juta ke bawah.

Jika hal itu dilakukan diharapkan realisasi program KUR dapat meningkat penyalurannya secara cepat dan benar. Dengan begitu, program tersebut dapat benar-benar efektif membantu perekonomian dan menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat dinikmati secara nyata masyarakat. (dimuat di Malah Komite edisi 15-30 Nov 2009)

Senin, 02 November 2009

Wujudkan Rumah Untuk Rakyat



Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (UUD 1945 Pasal 38 H ayat 1)


shom.doc


Salah satu sektor yang berperan sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia adalah perumahan dan permukiman. Pentingnya pemenuhan perumahan dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bahkan tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Tidak heran jika sektor ini senantiasa menjadi salah satu prioritas dalam program pembangunan nasional.


Di samping itu, pemenuhan atas perumahan dan permukiman juga dituangkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 40 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Dan secara lebih khusus juga perkuat dengan UU Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.


Rangkaian perundangan tersebut secara eksplisit mempertegas bahwa rumah atau papan maupun permukiman menjadi kebutuhan vital manusia yang sangat mendasar. Keberadaan rumah sebagai wadah tempat tinggal sesesorang ataupun unit sosial dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai tempat berlindung sekaligus tempat berinteraksi sosial.


Secara nasional, hak perumahan didefiniskan sebagai hak bagi setiap orang guna mendapakan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat. Sedangkan secara universal, rumah dikelpmpokkan sebagai bagian dari hak dasar bersama dengan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan dasar pangan, sandang, layanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya.


Meski pada dasarnya pemenuhan rumah merupakan kewajiban perseorangan dan peran negara dalam hal ini membantu akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut secara adil dan merata. Akan tetapi Pemerintah Indonesia menyadari bahwa masih ada masyarakat yang belum memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


Hal ini bisa dilihat dari permasalahan yang masih terus terjadi di sektor perumahan mulai dari ketidakmampuan memiliki rumah hingga bermukim di kawasan kumuh. Saat ini diperkirakan masih ada sekitar 7 juta dari 57 juta keluarga Indonesia belum memiliki rumah atau bermukim di rumah kumuh. Bahkan dari data Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), dari 50 juta rumah itu, yang permanen hanya sekitar 60 persen, atau 30 juta. Sisanya, sekitar 20 juta unit, tidak layak huni karena tidak memiliki sanitasi yang baik, listrik, dan air bersih.


Persoalan kawasan kumuh harus kita akui sebagai permasalahan yang cukup klasik bagi masyarakat di kota-kota besar. Kawasan kumuh yang ada sebenarnya bukan kawasan yang diperuntukkan bagi pemukiman penduduk. Namun oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah atau tidak tetap disulap menjadi tempat tinggal.


Di Indonesia, keberadaan kawasan kumuh saat ini terdapat di sekitar 500 kota dengan luasan wilayahnya cenderung mengalami peningkatan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), laju pertumbuhan kekumuhan di tanah air mencapai rata-rata 2,9 persen per tahun. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004, luas kawasan kumuh meningkat dari 47.000 hektare menjadi 54.000 hektare. Bahkan, Badan PBB yang menangani program pembangunan, United Nations Development Program (UNDP) memperkirakan, peningkatan luas pemukiman kumuh masih sebesar 1,37 persen setiap tahun antara 2004-2009.


PNPM Mandiri Perkim


Kebutuhan perumahan di Indonesia akan terus meningkat seiring dengan masih tingginya pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,3% per tahun. Akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut mengakibatkan penyediaan hunian di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan jumlah populasi. Jumlah backlog atau defisit penyediaan rumah akan terus bertambah jika tidak dilakukan langkah atau terobosan khusus.


Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi ketersediaan rumah layak huni bagi seluruh rakyat meskipun sebagai kebutuhan dasar tidak harus selalu dipenuhi melalui kepemilikan. Begitu pula dengan upaya yang dilakukan untuk penghapusan kawasan kumuh. Pemerintah menargetkan pembebasan kawasan kumuh perkotaan pada 2010 mampu mencapai 200 dari 500 kota di Indonesia. Pelaksanaan pembebasan kawasan kumuh ini dtargetkan bisa meningkat menjadi di 350 kota pada 2015. Sehingga Indonesia diharapkan sudah bebas dari kawasan kumuh pada tahun 2020.


Salah satu program yang bertujuan mencapai pemenuhan tempat tinggal layak huni adalah Program Nasional Pemberdayaan Masayarakat (PNPM) Mandiri Perumahan dan Permukiman. Program ini merupakan bagian dari pelaksanaan PNPM Mandiri yang dilaksanakan melalui fasilitas berbagai kegiatan yang terkait dengan bidang perumahan permukiman dalam upaya menumbuh-kembangkan kemampuan masyarakat dalam peningkatan kualitas rumah dan perumahan, pemenuhan kebutuhan rumah dan perumahan, serta peningkatan kualitas permukiman yang berbasis pemberdayaan masyarakat.


PNPM Mandiri Perumahan Permukiman ini bertujuan untuk membantu dalam mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui keterpaduan berbagai program pemberdayaan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan perumahan permukiman agar masyarakat miskin dapat menempati rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman.


Dalam pelaksanaanya, pendekatan dasar PNPM-Mandiri Perkim berbasis pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk perbaikan kualitas rumah masyarakat khususnya masyarakat miskin dan kualitas lingkungan permukiman, khususnya di kawasan kumuh. Pelaksananya dilakukan oleh kelompok masyarakat (Pokmas) dan kelembagaan PNPM Mandiri Perdesaan untuk wilayah perdesaan. Sedangkan di wilayah perkotaan dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Kelembagaan PNPM-perkotaan.


PNPM Mandiri Perkim sudah dimulai sejak 2006 lewat pemberdayaan komunitas perumahan dengan memberikan stimulan. Pada tahun 2009, PNPM Mandiri Perkim yang dijalankan Kementerian Perumahan Rakyat dengan komponen bantuan dana stimulan perumahan swadaya sebesar Rp135,6 milyar telah mencakup 19.000 unit dengan lokasi yang tersebar di 32 provinsi dan 202 kabupaten/kota. Sedangkan untuk tahun depan, direncanakan akan mencakup 22.000 unit dengan alokasi dana sebesar Rp153,6 milyar yang tersebar di 33 provinsi dan 154 kabupaten/kota.


Penutup


Pentingnya ketersedian rumah yang layak huni bagi segenap rakyat Indonesia sebenarnya telah menjadi perhatian pemerintah sejak awal kemerdekaan negeri ini. Pada Kongres Nasional Perumahan Rakyat yang pertama kali digelar pada 1950, dalam pidatonya Wapres M Hatta telah menyatakan cita-cita agar semua penduduk Indonesia memiliki rumah yang layak huni.


Komitmen mewujudkan cita-cita tersebut diwujudkan pemerintah dengan membentuk Djawatan Perumahan Rakyat. Di beberapa Daerah Tingkat II pada tahun 1952 didirikan Jajasan Kas Pembangoenan, yang bertugas membangun perumahan dengan harga di bawah harga pasaran, khususnya untuk golongan menengah kebawah. Sedangkan di tingkat Pusat pada tahun 1945`dibentuk Badan Perantjang Perumahan dan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB).


Kini memang sudah 59 tahun pidato Bung Hatta tersebut berlalu tapi cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud. Akan tetapi, semangat untuk memenuhi hak dasar berupa tempat hunian yang layak bagi seluruh rakyat sebagaimana diamatkan UUD 1945 tetap menjadi komitmen segenap pemangku kepentingan di negeri ini.


Melalui akselerasi berbagai program perumahan dan permukiman yang salah satunya melalui perluasan cakupan pendanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perumahan dan Permukiman untuk membiayai pembangunan perumahan masyarakat miskinn diharapkan hak segenap rakyat untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dapat segera terwujud. (dimuat di Majalah Komite edisi 1-15 Nov 2009)


Bencana Dan Kemiskinan



Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Salah satunya akibat terjadinya berbagai bencana di tanah air.

Negeri ini kembali berduka. Bencana alam yang menimpa sebagian rakyat Indonesia tersebut menorehkan kepedihan bagi segenap bangsa. Bencana berupa gempa bumi yang terjadi dalam kurun waktu sebulan seakan menegaskan kembali bahwa negeri ini sangat akrab dengan bencana.

Gempa yang melanda wilayah Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 lalu tidak hanya mengakibatkan rusaknya beragam infrastruktur yang ada di masyarakat namun juga menimbulkan puluhab korban jiwa. Terasa belum hilang rasa kepedihan, keprihatinan dari segenap penjuru tanah air, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR kembali mengguncang sejumlah wilayah di Sumatera Barat (30/9/2009). Gempa ini membuat puluhan ribu rumah, perkantoran, sekolah dan fasilitas umum rusak. Gempa juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur yang ada dan yang lebih tragis ratusan orang meninggal dunia.

Bencana alam seakan datang silih berganti melanda negeri kita. Beberapa tahun terakhir bencana mulai dari tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, gempa bumi, bahkan hingga tsunami kerap menimpa masyarakat Indonesia. Semua itu meninggalkan kepedihan, keprihatinan, hingga terciptanya peluang terjadinya kemiskinan baru di masyarakat.

Kita semua memang menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang wilayanya sangat rawan bencana. Dengan semakin tingginya intensitas dan frekuensi berbagai peristiwa bencana yang terjadi belakangan ini maka masalah penanggulangan bencana harus mampu menjadi salah satu prioritas agenda pembangunan nasional. Sebab akibat yang ditimbulkan dari setiap bencana yang terjadi akan memberikan efek yang besar terhadap korban baik secara psikologis maupun kesejahteraan hidupnya.

Secara sosial, masyarakat yang terkena bencana akan mengalami beberapa kerentanan secara sosiologis antara lain: pertama, hilangnya sistem sosial yang telah mapan. Tuntutan untuk membuatnya pulih tentu membutuhkan pendampingan agar mereka dapat dengan segera bangkit dari keterpurukan. Karena pada hakekatnya masyarakat korban bencana dalam kondisi sakit secara sosial yang tentunya hanya dapat diobati dengan proses sosial lagi.

Kedua, hilangnya solidaritas sosial yang telah mapan. Ancaman dari hilangnya solidaritas sosial tersebut bisa mengakibatkan timbulnya dorongan bagi individu untuk berbuat jahat. Ketiga, terkurasnya mobilitas sosial sehingga membuat masyarakat akan kehilangan kebiasaan yang dilakukan. Ancamannya dapat berupa hilangnya kesempatan dalam mencari kebutuhan hidup.

Di lihat dari aspek kesejahteraan hidup, masyarakat korban bencana sangatlah rentan. Kondisi yang demikian disebabkan hilangnya harta benda yang mereka miliki. Selain itu, usaha pemenuhan kebutuhan hidup akan terganggu mengingat mata pencaharian yang selama ini dilakukan ikut rusak akibat adanya bencana.

Kita bisa lihat pada para petani yang terpaksa gagal panen karena adanya bencana banjir. Tidak sedikit pula pengusaha kecil hingga menengah yang terpaksa gulung tikar karena asset yang dimiliki habis akibat bencana yang melanda. Gempa di Sumatera Barat misalnya, Depnakertrans memperkirakan sebanyak 70 ribu pekerja dari 46 perusahaan di Sumatera Barat diperkirakan kehilangan pekerjaan.


Perhatian Pemerintah

Melihat begitu besar dampak langsung dan ikutan yang diakibatkan bencana alam maka sangat realistis jika bencana dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, di samping faktor lain tentunya. Sebab setiap bencana yang terjadi membuka peluang tumbuhnya kemiskinan baru di masyarakat.

Munculnya kemiskinan baru karena bencana disebakan karena secara fakta empiris, bencana dapat memberikan kerugian bagi manusia. Kerugian dapat berupa kerugian nyawa, harta benda dan rusaknya lingkungan hidup yang didiaminya. Di samping itu, bencana juga dapat menimbulkan kerugian psikologis yang membuat masyarakat trauma dan hilang kemandirian hidupnya.

Fakta nyata kemiskinan yang terjadi akibat bencana dapat kita lihat dari tingginya angka kemiskinan yang terjadi akibat bencana Tsunami beberapa tahun yang lalu. Dampak kemiskinan di masyarakat korban tsunami sangat besar. Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), kemiskinan merupakan dampak yang paling penting dalam bencana alam. Sebab tidak kurang dari dua juta orang yang terjerumus dalam lembah kemiskinan akibat bencana tsunami yang menewaskan lebih dari 150.000 orang di wilayah pantai Samudera Hindia.

ADB secara rinci menyebutkan bahwa satu juta orang akan menjadi miskin di Indonesia sebagai negara yang paling menderita dengan lebih dari 100.000 orang tewas. Jumlah orang miskin di India meningkat sampai 645.000 orang dan di Sri Lanka 250.000 orang.

Menyadari begitu besarnya dampak yang harus diterima oleh para korban bencana tentu sudah menjadi keharusan dilakukan penanggulangan bencana secara terpadu. Semua pihak juga harus lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungan dan memantapkan kesadaran serta memiliki kesiap-siagaan yang tinggi dalam menghadapi bencana.

Perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang terkena bencana selama ini juga sangat besar karena pada hakekatnya setiap bencana baik yang disebabkan faktor alam maupun karena ulah manusia yang menimpa masyarakat merupakan bencana bagi bangsa indonesia. Oleh karena itu, selama ini penanggulangannya telah diupayakan melalui berbagai cara dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui koordinasi penanganan mulai tingkat lokasi bencana di daerah hingga di tingkat nasional.

Beragam bantuan dan upaya perlindungan sosial diberikan bagi mereka yang terkena bencana. Di samping untuk program tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi, pemerintah juga berusaha untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban hidup masyarakat serta menghindarkan mereka dari ancaman kemiskinan.

Salah satu program pemerintah yang dikhususkan kepada masyarakat yang rentan terhadap bencana adalah PNPM-Daerah Tertinggal dan Khusus. Program ini diberikan pada daerah-daerah tertinggal dan yang mengalami konflik sosial dan bencana alam. Tujuannya untuk membantu Pemerintah Daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah-daerah tertinggal dan khusus.

Di samping itu, untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat dapat juga memanfaatkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program PNPM Mandiri masyarakat dapat menentukan sendiri tentang kegiatan apa yang akan dilakukan. Sedangkan melalui Program KUR masyarakat dapat merintis atau membangun kembali usaha sehingga dapat segera bangkit dari bencana.

Dengan adanya beragam program tersebut diharapkan memberikan rasa optimisme masyarakat yang dilanda bencana. Bagi masyarakat yang sebelumnya menekuni bidang wirausaha bisa tetap optimis membangunnya kembali karena pemerintah telah memberikan kemudahan pinjaman melalui program KUR. Sedangkan bagi yang kehilangan pekerjaan dapat diatasi dengan adanya program pembangunan infrastruktur atau yang bersifat padat karya guna membuka kesempatan kerja.

Penutup

Penanganan pasca bencana sangat diperlukan guna meminimalisir dampak buruk serta memulikan kondisi para korban. Namun kita juga tidak boleh melupakan aspek kesiapansiagaan masyarakat (community preparedness) dalam menghadapi dan menghindari bencana alam dan bencana sosial sehingga aspek mitigasi bencana menjadi prioritas penting dalam menghadapi bencana.

Pentingnya menekankan pada aspek mitigasi/pencegahan bencana telah terbukti diberagam negara yang seringkali diterpa bencana misalnya seperti Jepang, Turki dan negara lainnya. Kondisi masyarakatnya yang sangat siap dan paham bagaimana hidup dan menyikapi bencana ini memberikan dampak yang tidak terlalu besar manakala bencana terjadi.

Di samping itu, upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi bencana harus didasari konteks kebijakan dan kerangka kerja yang tepat. Pendekatan penanggulangan bencana yang menilai bahwa korban bencana merupakan pihak yang tidak berdaya sudah saatnya dirubah menjadi penanggulangan bencana yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Karenanya implementasi pemberian bantuan yang bersifat fisik dan temporer harus dilengkapi dengan pemberian bantuan yang bersifat memberdayakan masyarakat. Dengan demikian akan mampu memberikan dampak yang positif dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan baru akibat bencana. (dimuat di Majalah KOMITE 15- 31 Oktober 2009)

Selasa, 27 Oktober 2009

Zakat yang Memberdayakan


"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." ( At Taubah ayat 103)


Kemiskinan terkadang membuat seseorang tidak berdaya sehingga memilih jalan yang kurang bermartabat guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan pula yang dijadikan alasan bagi orang untuk menjalani aktivitas sebagai pengemis. Walaupun tak jarang pula yang menjadikan kegiatan memohon belas kasihan dari orang lain itu sebagai profesi.

Akibatnya, semakin banyak kita saksikan para pengemis dari usia anak-anak hingga lanjut usia, cacat hingga sehat dan bugar, memenuhi setiap sudut keramaian di kota-kota besar. Kondisi yang demikian seakan mencerminkan semakin tidak berdayanya kaum miskin dalam ikhtiar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Dengan menegadakan tangan dan memohon rasa kasihan pada orang lain justru semakin meninabobokan mereka. Spirit untuk berusaha mandiri dengan sendirinya akan mati karena terbiasa dan terlena dengan belas kasihan dari orang lain.

Alasan itu pulalah yang menjadi salah satu dasar bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep mengeluarkan fatwa haram mengemis. Fatwa tersebut juga didukung oleh MUI Pusat serta MUI daerah lainnya.

Selain itu, tindakan nyata juga dilakukan Pemprov DKI dengan mengefektifkan implementasi Peraturan Daerah No. 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum yang intinya larangan bersedekah dan beli asongan di jalan raya. Ancamannya cukup berat bagi pemberi sedekah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Perda ini dapat dikenakan denda maksimal Rp 20 juta atau hukuman pidana penjara 60 hari.

Mengeluarkan fatwa larangan mengemis atau menangkap para pengemis maupun pemberi sedekah tentu belum bisa menyelesaikan masalah banyaknya pengemis yang berkeliaran di jalan karena sesunggunya mereka adalah produk dari kemiskinan. Mereka mengemis karena belum menemukan jalan keluar dari kemiskinan sementara kebutuhan hidup harus terpenuhi.

Kemiskinan memang sangat sulit dihilangkan dalam kehidupan manusia namun tentu dapat diminimalisir. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen) yang berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.

Angka tersebut menunjukkan bahwa masih cukup banyak masyarakat kita yang hidup dalam kondisi miskin. Untuk mengurangi jumlah tersebut, pemerintah terus berupaya mengatasinya melalaui pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Program ini dikelompokkan tiga kluster program penanggulangan kemiskinan yaitu kluster satu, bantuan dan perlindungan sosial, dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), beras untuk masyarakat miskin (raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan lain sebagainya.

Kluster dua, adalah pemberdayaan masyarakat atau yang sering disebut PNPM Mandiri. Sedangkan kluster ke tiga, penguatan usaha mikro dan kecil melalui program kredit usaha rakyat (KUR).

Optimalkan Zakat

Meski pemerintah telah menjalankan beragam program dalam menanggulangi kemiskinan namun bukan berarti masyarakat tidak memiliki kewajiban dalam membantu mereka yang kekurangan. Tanggung jawab dalam menanggulangi kemiskinan tetap menjadi tanggungjawab semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat maupun orang miskin itu sendiri. Untuk itu, semua pemangku kemangku kepentingan harus bahu-membahu berjihad melawan kemiskinan.

Salah satu cara yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat dalam mengurangi angka kemiskinan dengan melakukan kewajiban membayar zakat. Sebagaimana diatur dalam dalam UU Nomor 38/1999, pengelolahan zakat bertujuan membantu golongan fakir dan miskin. Zakat juga diyakini memiliki peran penting dalam perkembangan sosial dan ekonomi jika digunakan secara benar. Bahkan Alquran banyak memuat ayat yang menerangkan pentingnya berzakat.

Zakat sesungguhnya merupakan potensi ekonomi yang amat besar bagi bangsa Indonesia. Jika kita menengok jumlah muslim yang mayoritas di negara kita maka seharusnya zakat bisa menjadi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Meski demikian, upaya menggali potensi dan optimalsasi peran zakat di Indonesia belum sepenuhnya tergarap dengan maksimal. Sejauh ini zakat sebagai instrumen pemberantasan kemiskinan masih sporadis dan belum efektif secara permanen.

Mengapa demikian, ada beberapa kemungkinan yang membuat peran dan fungsi zakat menjadi tidak efektif antara lain: pertama, jumlah orang miskin masih terlalu banyak. Kedua, dana zakat yang terhimpun masih sangat kecil sehingga tidak signifikan, baik karena kemampuan maupun kerana kemauan umat Islam yang belum memadai. Ketiga, golongan penerima zakat bukan hanya fakir dan miskin melainkan ada enam golongan lagi yang berhak menerima zakat. Keempat, manajemen penyalurannya belum klop dengan substansi masalah atau akar kemiskinan.

Keberadaan zakat juga sangat tergantung terhadap keberadaan lembaga zakat yang mengelolanya. Secara yuridis formal keberadaan zakat diatur dalam UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Lembaga pengelola zakat saat ini tidak hanya dimonopoli oleh BAZIS yang dikelola oleh negara tetapi dikelola secara swadaya oleh masyarakat.

Namun yang patut menjadi perhatian bagi lembaga pengelola amil zakat tersebut adalah bagaimana zakat tersebut dapat diberdayagunakan untuk menanggulangi dan mengatasi kemiskinan umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Pengelolaan ini penting agar zakat tidak hanya sekadar menjadi langkah penghimpunan dana dan sasaran penyalurannya tidak jelas.

Oleh karena itu, sebagai upaya meningkatkan daya guna zakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan ada berberapa hal yang perlu dilakukan oleh lembaga pengelola zakat terutama pengelolahan zakat secara profesional dan akuntable sehingga memberikan rasa kepercayaan bagi para wajib zakat bahwa dana yang telah mereka keluarkan dapat dikelolah sebagaimana mestinya. Dengan begitu, maka dapat mendorong kesadaran bagi mereka untuk menunaikan kewajibannya.

Di samping itu, penyaluran dana zakat sebisa mungkin dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat semisal kemampuan berwirausaha sehingga mereka tidak menjadikan zakat sebagai gantungan hidup. Sehingga apabila simpul-simpul pemberdayaan tersebut dapat berkembang tentu akan mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat memberikan manfaat nyata dalam mengurangi kemiskinan di daerah sekitarnya.

Penutup

Potensi zakat dalam memerangi kemiskinan memang sangat besar karena sesunggunya dalam setiap kekayaan orang kaya terdapat bagian hak milik orang-orang miskin. Meski demikian kita semua tentu menyadari bahwa besarnya potensi zakat sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mengentaskan kemiskinan. Ditambah lagi masing rendahnya kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar zakat.

Kondisi yang demikianlah yang menimbulkan kenyataan bahwa kita belum mampu mengangkat hidup orang fakir dan miskin dengan zakat. Jika zakat dijadikan salah satu upaya mengatasi kemiskinan maka dalam penyalurannya seharusnya lebih mengedapankan aspek pemberdayaan. Dana zakat itu bisa saja digunakan untuk biaya pendidikan (beasiswa), modal usaha dan sebagainya. Namun bagi mereka yang memang sudah sulit dikembangkan untuk berusaha sendiri kebutuhan awal yang sifatnya konsumtif tetap harus dipenuhi.

Dengan demikian maka kaum fakir miskin tersebut akan mampu berusaha keluar dari jerat kemiskinan melalui kerja keras yang dilakukannya. Sehingga mereka tidak akan menjadikan kemiskinan sebagai alasan menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. (dimuat di Majalah KOMITE 15-30 September 2009)

Memperkokoh Komitmen Community Empowerment



Pada pertengahan Agustus lalu, tepatnya pada tanggal 14-16 Agustus 2009, telah diselenggarakan perhelatan Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) Expo dan Award Tahun 2009 di Balai Sidang Jakarta Convention Center.


Kegiatan tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai prestasi dan kinerja dari seluruh pemangku kepentingan dari pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat serta program pembangunan berbasis kerakyatan lainnya (community driven development).

Beragam kegiatan pun digelar sebagai bagian dari rangkaian GKPM Expo dan Award Tahun 2009 tersebut. Dalam even tersebut ditampilkan hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pameran. Selain itu juga diisi dengan berbagai kegiatan lainnya seperti Seminar Internasional “Best Practices in Community Empowerment”, Seminar ”Best Practices on CSR”, Workshop “Grand Strategi Percepatan Pembangunan Daerah”, GKPM Award Tahun 2009 serta pertunjukan seni dan budaya.

Program pemberdayaaan masyarakat memang sudah bukan lagi sekedar konsep namun sudah dijalankan pemerintah sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Program pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam upaya memberikan kesadaran bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, agar memiliki spirit motivasi yang tinggi untuk bangkit lebih sejahtera.

Meski demikian kita tentu menyadari bahwa persoalan kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Untuk itu, pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). PNPM Mandiri merupakan wujud nyata harmonisasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang tersebar di Kementerian/Lembaga.

Melalui program PNPM Mandiri inilah diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan secara mandiri melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian. Hal ini sesuai dengan paradigma yang menempatkan masyarakat miskin bukan lagi menjadi obyek pembangunan melainkan subyek dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) terselenggara sebagai bentuk wujud nyata komitmen pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan berbasis community empowerment. Di samping itu juga berkat adanya inisiasi dari pihak swasta dalam hal ini oleh Corporate Forum for Community Development (CFCD), Bakrie Untuk Negeri (BUN), dan PT Persada Multi Cendekia. Serta didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan, baik dari kalangan Pemerintah, dunia usaha, maupun kelompok masyarakat lainnya.

Kita semua tentu sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap kepedulian kalangan usaha/swasta yang mendukung upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini mengingat program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat memang memerlukan sinergi yang kokoh dan terarah dari seluruh pemangku kepentingan, yaitu Pemerintah Daerah, kalangan swasta maupun BUMN, asosiasi, perguruan tinggi, perbankan, kalangan media massa, LSM, dan kelompok masyarakat lainnya.

Oleh karena itu, agar semua pihak dapat lebih terlibat dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, maka perlu dilakukan sosialisasi yang intensif kepada seluruh masyarakat luas. Beragam acara semacam GKPM juga layak dilaksanakan sebagai bukti nyata dan sarana saling tukar informasi dan pengalaman dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah tentunya juga sangat mendukung aktivitas masyarakat, kalangan dunia usaha, maupun Perguruan Tinggi dalam menciptakan berbagai inovasi dan program sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat dapat menjadi lebih berdaya, maju, dan mandiri dalam meningkatkan kesejahteraannya.


Hingga 2015


Saat ini hasil dari pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri sudah bisa dinikmati masyarakat. Beragam mimpi masyarakat pun dapat terpenuhi. Mulai dari kemudahan memperoleh sarana air bersih, fasilitas jalan yang memadahi serta kemandirian energi.

Di samping itu, kemudahan dalam memperoleh pendidikan, layanan kesehatan bagi masyarakat tidak lagi menjadi impian namun telah hadir dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua itu terlaksana berkat beragam program yang dijalankan PNPM Mandiri yang di dalamnya masyarakatlah yang berhak mengusulkan program apa yang mereka butuhkan. Masyarakat pulalah yang melakukan dan mengawasi pelaksanaan program. Setiap program yang dijalankan pun menjelma menjadi kebutuhan bersama.

Mengingat begitu pentingnya spirit motivasi yang tertanam bagi masyarakat melalui program PNPM Mandiri maka program ini akan tetap dijadikan program utama sebagai program pendorong kesejahteraan masyarakat. Program ini akan tetap dilanjutkan selaras dengan kebijakan pemerintah dalam merealisasikan target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015

Dari hasil evaluasi kita juga patut bersyukur karena program PNPM Mandiri telah banyak memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan begitu, secara tidak langsung kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat. PNPM Mandiri sepanjang tahun 2008 telah mampu menyerap hingga 4 juta orang. Jumlah tersebut khususnya para korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Untuk tahun 2009, pemerintah mengalokasikan dana untuk PNPM Mandiri sebesar Rp 16 triliun dari sebelumnya Rp 11 triliun yang dikucurkan ke 6.408 kecamatan di seluruh Indonesia. Melalui alokasi dana bantuan bergulir Rp 3 miliar yang didapatkan tiap-tiap kecamatan maka ada sekitar 24 juta lapangan kerja akan tercipta. Dengan rincian sebanyak 14 juta dampak langsung dan 10 juta dampak tidak langsung.

Hasil tersebut tentunya memberi bukti bahwa gerakan nasional dalam wujud pembangunan berbasis masyarakat bisa menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai penanggulangan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mengurangi kemiskinan.

Keberhasilan penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM Mandiri juga diakui Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan telah mengadopsi model pemberdayaan masyarakat dalam program tersebut. Beberapa negara anggota ASEAN termasuk Laos, Kamboja, dan Myanmar juga sudah mulai mengadopsi model penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat tersebut.


Penutup

Kita semua menyadari bahwa program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat membutuhkan komitmen dan sinergi yang kokohdari semua pemangku kepentingan. Partisipasi dari semua pihak dalam upaya tersebut sangat penting mengingat upaya penanggulangan kemiskinan ini merupakan tanggung jawab kita bersama termasuk masyarakat miskin itu sendiri.

Oleh karena itu, melalui GKPM 2009 diharapkan partispasi dan kemitraan para pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program pemberdayaan masyarakat, baik yang dilakukan oleh pemerintah, kalangan dunia usaha, maupun kelompok masyarakat lainnya semakin meningkat.

Di samping itu, sebagai salah satu langkah dari upaya memantapkaan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tercakup dalam tiga kluster yaitu kluster program bantuan dan perlindungan sosial kepada rumah tangga sangat miskin, miskin dan hampir miskin, kluster pemberdayaan masyarakat, dan kluster pemberdayaan usaha mikro.

Khusus untuk kluster pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pemantapan koordinasi semua progam pemberdayaan masyarakat yang ada di semua lembaga/departemen melalui PNPM Mandiri agar upaya membangun kemandirian masyarakat lebih efektif tercapai. (dimuat di Majalah E 1-14 September 2009)