Rabu, 29 April 2009

PNPM Generasi, PKH, dan Upaya Memutus Rantai Kemiskinan

Setiap anak yang ada di Indonesia merupakan calon penerus bangsa ini. Untuk itu, jaminan akan kecukupan asupan gizi dan kesehatan menjadi tanggungjawab kita semua. Beragam program yang mencakup itu telah dijalankan pemerintah seperti PKH dan PNPM Generasi. Program tersebut diharapkan mampu memutus rantai kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan dan derajat kesehatan rumah tangga miskin.


Jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi di Indonesia hingga pada pertengahan tahun 2008 lalu, masih cukup besar dengan jumlah penderita kurang lebih 4 juta anak. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah balita penderita malnutrisi pada tahun 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk.


Kondisi tersebut memang cukup memprihatinkan mengingat kekurangan gizi pada masa balita akan berpengaruh besar pada kualitas dan perkembangan seseorang nantinya. Kurangnya asupan gizi pada dua tahun pertama pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan serius bagi perkembangan otak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan si anak terhambat. Pembentukan sel-sel otak, menurut para pakar, terjadi pada masa 5 tahun pertama. Setelah 5 tahun pertama, maka pembentukan sel-sel otak melambat dan hanya penguatan sel-sel otak yang telah terbentuk. Tingkat kecerdasan sangat dipengaruhi oleh jumlah sel-sel otak yang ada. Dapat dibayangkan bilamana pada usia sampai dengan 5 tahun, si anak tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai, sehingga akan menentukan masa depannya, apakah akan mempunyai tingkat kecerdasan yang prima atau tidak memadai.


Kemiskinan berdampak luas, tidak hanya pada kondisi ekonomi keluarga miskin akan tetapi juga akan mempengaruhi masa depan bangsa bila kita tidak memberikan perhatian yang serius pada peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, khususnya dalam peningkatan gizi bagi para balita.


Terjadinya kasus gizi buruk senantiasa dihubungkan dengan kemiskinan. Rendahnya kemampuan ekonomi dari keluarga miskin berdampak pada buruknya kualitas nutrisi dan gizi bagi anak-anaknya.


Benarkah kemiskinan menjadi satu-satunya penyebab terjadinya kasus gizi buruk? Jawabannya ternyata, bukan. Kemiskinan bukanlah satu-satunya akar masalah gizi buruk karena tidak selamanya faktor ekonomi itu berpengaruh terhadap terjadinya kasus gizi buruk. Tingkat pengetahuan dan pendidikan yang rendah juga menjadi faktor penting terjadinya kasus gizi buruk. Sehingga tidak sedikit pula kasus gizi buruk yang ada di masyarakat justeru terjadi di keluarga yang secara ekonomi cukup mapan.


Kita bisa melihat fenomena kasus kekurangan gizi atau gizi buruk di Kabupaten Bima, NTB. Di sana, berdasarkan data dari dinas kesehatan setempat, kasus yang terjadi sebagian besar justru disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting kesehatan. Munculnya kasus gizi buruk karena masalah ekonomi hanya 30 persen.


Terjadinya kasus gizi buruk memang menjadi masalah yang penting karena bisa mengancam terhadap kualitas penerus bangsa ini. Untuk itu, selama ini telah banyak intervensi pemerintah dalam memberdayakan masyarakat atau mengurangi kemiskinan yang bersifat bantuan sosial. Di antaranya melalui program distribusi beras masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), termasuk juga Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi. Semua itu sebagai upaya pemerintah dalam mempercepatan penanggulangan kemiskinan dan pengembangan sistem jaminan sosial.


PKH dan PNPM Generasi


Penanggulangan kemiskinan tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama, untuk itu, langkah penanggulangannya harus melibatkan multi sektor serta membutuhkan upaya terus menerus karena kompleksitas permasalahan dan keterbatasan sumberdaya yang dihadapi masyarakat miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak hanya ditujukan untuk memutus lingkaran kemiskinan ekonomi saja, akan tetapi juga harus dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak yang sangat pentying dalam membentuk generasi yang lebih sehat, cerdas dan tangguh di masa depan.


Khusus untuk menanggulangi permasalahan kurang gizi dan gizi buruk sebenarnya telah tercakup dalam PKH dan PNPM Generasi yang telah dijalankan pemerintah sejak tahun 2007. Program ini diluncurkan karena adanya permasalahan utama pembangunan yaitu masih besarnya jumlah penduduk miskin serta rendahnya kualitas SDM.


Pemberian dana PKH setiap tahun selama enam tahun itu, diperuntukkan bagi wanita hamil dari rumah tangga sangat miskin (RTSM) memiliki anak berusia 0-18 tahun yang tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak, guna memperbaiki gizi anak-anak dan membantu anak-anak yang tidak dapat bersekolah. Peserta PKH adalah ibu rumah tangga dari keluarga yang terpilih dengan mekanisme pemilihan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.


PKH bertujuan untuk meningkatkan jangkauan atau aksebilitas masyarakat tidak mampu terhadap pelayanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. Untuk jangka pendek, melalui pemberian bantuan uang tunai kepada RTSM dengan harapan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Sedangkan untuk jangka panjang diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan prilaku terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil hingga tingkat pendidikan anak-anak.


Lebih lanjut, intervensi pemerintah melalui PKH ini tentunya akan dapat membantu Pemda dalam penanganan gizi buruk balita, perbaikan usia harapan hidup ibu dan bayi dalam proses kelahiran dan peningkatan kualitas pendidikan anak usia sekolah. Program ini juga dapat memberikan masukan melalui data di lapangan mengenai cakupan layanan program lintas sektoral yang sehingga dapat dijadikan bahan mengambil kebijakan pemda Kab/Kota bahkan Pemprov.


Di samping Program Keluarga Harapan (PHK), pemerintah juga telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi Sehat dan Cerdas sejak tahun 2007 dengan pilot projeknya di 5 provinsi. Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, Gorontalo, dan Sulut) yang lokasinya tersebar di 20 kabupaten dan di 129 kecamatan.


Tujuan PNPM Generasi adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak-anak balita, serta meningkatkan pendidikan anak-anak usia sekolah dasar hingga tamat sekolah dasar dan menengah. PNPM Generasi diharapkan mampu memutus rantai kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan dan derajat kesehatan rumah tangga miskin.


Program PNPM Generasi hanyalah satu dari sekian banyak program dengan model pengelolaan PNPM mandiri, yang kegiatannya dikhususkan kepada peningkatan pendidikan dan kesehatan. Program ini saling melengkapi dengan Program Keluarga Harapan (PKH), yang membedakan adalah sasarannya. Kalau PKH merupakan program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) yang disalurkan kepada rumah tangga, sedangkan PNPM Generasi disalurkan kepada kelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat antara lain dapat berupa pemberian makanan tambahan anak sekolah, subsidi transportasi untuk bidan desa, sarana dan prasarana posyandu, seragam sekolah, serta buku dan alat tulis.


Penutup


Kemiskinan suatu rumah tangga secara umum terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan. Pengaruh rendahnya penghasilan keluarga sangat miskin pun menyebabkan keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatannya.


Oleh karena itu beragam program yang bertujuan memutus rantai kemiskinan antargenerasi yang dilakukan dengan tujuan peningkatan kualitas kesehatan/nutrisi, pendidikan, dan kapasitas pendapatan anak di masa depan harus menjadi komitmen bersama baik pemerintah pusat maupun daerah dan pemangku kepentingan lainnya.


Adanya PKH dan PNPM Generasi diharapkan menjadi investasi jangka panjang pembangunan manusia Indonesia yang dapat memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan bangsa dan penanggulangan kemiskinan serta memutus rantai kemiskinan antargenerasi di negeri ini.

Rabu, 08 April 2009

Kemiskinan dan Janji Politik

Sejak pemilu 1999 hingga pemilu 2009 ini, isu kemiskinan senatiasa dijadikan tema utama kampanye oleh partai politik maupun calon anggota legislatif guna menjaring suara rakyat. Kemiskinan seakan menjadi komoditas paling potensial dalam strategi politik yang mereka tawarkan agar memperoleh suara rakyat.


Suasana gegap gempita dan euferia politik melanda masyarakat pada saat kampanye rapat umum pemilu 2009 yang digelar selama kurun waktu tiga minggu mulai 17 Maret hingga 5 April tersebut. Partai politik pun berebut memasang strategi guna mendapat dukungan dari para pemilih. Beragam janji terlontar, mulai dari mengatasi kemiskinan, memperbaiki ekonomi serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.


Di masa kampanye ini, kita melihat bahwa sebagian pihak, khususnya politisi dan partai politik sering kali menjadikan kemiskinan sebagai terorika politik bahkan para calon anggota legeslatif berlomba-lomba memberikan ‘janji surga” dapat mengentaskan orang dari kemiskinan. Kemiskinan tak ubanya laksana gundukan emas yang dapat digali dimanfaatkan untuk meraup suara.


Mungkinkah janji yang mereka ungkapkan berupa peryataan akan menuntaskan masalah kemiskinan dan pengangguran sedemikian mudah dapat diwujudkan? Kita semua tentu tidak dapat memastikan. Karena pada kenyataan kemiskinan tidak dapat dituntaskan hanya dengan janji dan retorika politik saja tanpa adanya konsep dan program yang jelas.


Kita semua tentu sangat prihatin dengan beragam ulah politisi yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik tersebut. Bahkan ada yang menjadikan kemiskinan sebagai ‘sandera’ politik yang diwujudkan dengan sikap tidak setuju bahkan menolak pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan kepada masyarakat yang membutuhkan.


Salah satunya adalah program Bantuan Langsung Tunai yang diprogramkan pemerintah. Kalangan DPR hanya menyetujui penyaluran dana BLT untuk dua bulan. Padahal, jika mereka menyetujui untuk satu tahun, tentu dana tersebut sangat membantu masyarakat miskin yang sanggat membutuhkan sehingga angka kemiskinan akan dapat diturunkan.


Kecurigaan para politisi ternyata terus berlanjut terhadap program ini. Pada saat pencairan dana BLT 18 Maret lalu, masih banyak yang menuding bahwa pemberian dana BLT tersebut kurang tepat dengan alasan berdekatan dengan pemilu. Mereka khawatir kesempatan pemberian uang BLT tersebut dimanfaatkan sebagai kampanye terselubung. Pada hal kita semua tahu bahwa program BLT merupakan program pemerintah bukan program partai politik tertentu. Sikap penuh rasa curiga tersebut tentu sangat tidak baik untuk ditunjukkan mengingat penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM tersebut sudah menjadi amanah yang harus dilakukan sesuai yang tercantum dalam tercantum dalam APBN 2009 yang penyusunannya dilakukan tahun lalu.


Pada awalnya pemerintah mengusulkan penyalurannya selama setahun. Namun DPR meminta agar dipersingkat menjadi delapan bulan. DPR kemudian memutuskan agar BLT ini disalurkan selama delapan bulan dengan perincian enam bulan pada 2008 dan dua bulan pada 2009. Karenanya, jika pemerintah tidak menyalurkannya maka justru tidak menjalankan undang-undang tentang APBN.


Begitu pula dengan program lain yang bertujuan membantu masyarakat seperti Program Nasioanal Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, KUR dan lainnya. Menurut hemat saya beragam program penanggulangan kemiskinan yang ada harus tetap diajalankan sesuai dengan rencana. Meskipun untuk tahun ini tantangan yang dihadapi semakin besar.


Saya masih teringat bagaimana program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang merupakan bagian bagian dari strategi menghadapi krisis keuangan global, ternyata justru ditolak oleh sebagian kepala daerah. Padahal masyarakat sangat berharap dan antusias untuk menjalankan program tersebut. Penolakan lebih disebabkan pimpinan daerah curiga program PNPM adalah kampanye terselubung dari pihak tertentu. Ada juga yag menginginkan dana program tersebut disalurkan ke kas daerah sehingga mereka bisa mengawasi. Alasannya, kalau dana sudah sampai ke masyarakat, mereka tidak bisa mengawasi.


Sikap semacam ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah daerah seakan lebih mementingkan tujuan politik daripada tujuan mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Ketika masyarakat merindukan ada program yang segera membawa mereka keluar dari lingkaran kemiskinan tapi justru penguasa yang mencegahnya. Mereka seakan lebih mendengar suaranya sendiri atau golongannya dari pada suara masyarakatnya. Akibatnya, kebijakan yang diambil lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan dan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat.


Sangat tidak elegan tentunya, jika selalu mengaitkan setiap program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dengan upaya kampanye terselubung. Terlebih lagi, program PNPM Mandiri merupakan bentuk penyempurnaan program pemberdayaan masyarakat yang sudah dijalankan sejak 1998. Seumpama kail, program PNPM Mandiri ini bertujuan memberdayakan masyarakat agar mampu keluar dari kemiskinan secara mandiri. Tujuan mulia tersebut tentu sangat sulit tercapai tanpa ada dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah baik pusat maupun daerah.


Bagaimana terealisasi dengan sempurna jika dalam benak para pemangku kepentingan masih tertinggal pikiran dan kecurigaan bahwa program yang ada merupakan program partai atau golongan tertentu. Padahal program PNPM Mandiri adalah program pemerintah untuk rakyat agar terbebas dari kemiskinan secara mandiri.


Penutup


Pada masa kampanye sudah lazim para politisi mendesain janji sedemikian rupa agar dapat dipercaya oleh rakyat. Namun beragam janji tersebut selayaknya tidak terlalu muluk-muluk, terlebih lagi janji yang dilontarkan tanpa dilengkapi dengan konsep yang jelas dan terukur.


Begitu pula dengan janji akan menuntaskan masalah pengangguran dan kemiskinan karena pada hakekatnya masalah pengangguran hanya dapat diatasi dengan komitmen dan program yang berpihak pada rakyat miskin. Tidak cukup hanya dengan obral janji karena rakyat kita sudah ‘kenyang’ dengan janji. Mereka menunggu program nyata yang dijalankan agar dapat segera meraih kesejahteraan.


Dengan demikian, sepatutnya komitmen para tokoh terhadap kemiskinan di negeri ini hendaknya diwujudkan dengan langkah nyata serta ikut mendukung pemerintah mempercepat pengentasan kemiskinan. Bukan hanya menjadikan kemiskinan yang ada sebagai komoditas politik di masa kampanye pemilu. Dengan demikian, harapan menghapuskan kemiskinan dari bumi Indonesia akan semakin cepat menjadi kenyataan. Dimuat di majalah Komite edisi 1-14 April 2009