Senin, 02 Februari 2009

Pemberdayaan Pasca Bencana


Semua orang tentu tidak ingin bencana apapun menimpa dalam hidunya. Namun seringkali sebagian orang harus mengalami peristiwa yang disebabkan oleh alam sehingga mengakibatkan penderitaan, kerugian harta benda hingga kerusakan sarana-dan prasarana yang membuat tata kehidupan dan penghidupan manusia menjadi terganggu.


Tak bisa dipungkiri, Indonesia termasuk salah satu negara yang sering diterpa bencana. Hal ini tidak terlepas dari letak geografis sebagai negara kepulauan yang berada di antara dua benua dan dua samudera terbentang di garis katulistiwa serta terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. Posisi tersebut mengakibatkan sangat rawan terhadap bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya. Indonesia berada dalam kawasan rawan bencana dari rangkaian gunung api yang paling aktif di dunia yang disebut “ring of fire”.

Akibatnya, sering terucap ungkapan yang mengatakan we are living in the disaster area atau kita hidup di daerah rawan bencana. Untuk itu berbagai upaya pencegahan dan pendeteksian dini sangat penting dilakukan guna meminimalisir dampak yang diterima oleh masyarakat korban bencana. Sosialisasi kesiapan menghadapi bencana sangat penting dilakukan dan ditanamkan ke masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana.

Kita tentunya bisa belajar dari negara lain seperti Amerika Serikat yang juga memiliki ancaman bencana sangat luar biasa dan bervariasi. Di sana bencana seperti badai (hurricane) selalu mengancam masyarakat yang tinggal di daerah pantai timur dan tenggara. Ancaman tornado selalu muncul dari awal musim semi hingga awal musim gugur di wilayah tengah. Sedangkan di wilayah barat seperti California termasuk daerah yang labil secara tektonik sehingga rawan gempa.

Oleh karena itu, adanya ancaman berbagai bencana justru membuat masyarakat selalu memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi. Kesadaran akan bencana dilakukan melalui sosialisasi yang intens serta pelaksanaan latihan evakuasi kalau terjadi bencana. Bahkan sekolah-sekolah secara rutin menggelar simulasi evakuasi bencana secara rutin.

Kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi modal yang sangat penting bagi masyarakat mengingat dampaknya tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda tapi juga terjadinya goncangan terhadap aspek kejiwaan.

Sedangkan dilihat dari aspek ekonomi, masyarakat korban bencana akan terancam dengan hilangnya harta benda yang mereka miliki. Selain itu, usaha pemenuhan kebutuhan hidup akan terganggu mengingat mata pencaharian yang selama ini dilakukan ikut rusak akibat adanya bencana. Kita bisa lihat pada para petani yang terpaksa gagal panen karena adanya bencana banjir atau para buruh pabrik yang tidak bisa bekerja lantaran tempat kerjanya rusak akibat bencana yang ada.

Di samping itu yang tidak kalah pentingnya adalah ancaman kerentanan kejiwaan para korban bencana. Masyarakat pascabencana juga dikhawatirkan memiliki kerentanan secara kejiwaan individual (psikologis) dan kejiwaan secara sosial (sosiologis). Namun selama ini yang sering menjadi sorotan adalah kejiwaan secara psikologis sedangkan kejiwaan secara sosiologis kurang terkenal walaupun sebenarnya jiwa sosial tidak kalah pentinya dalam menyelesaikan masalah sosial masyarakat pasca bencana.

Hal tersebut mengingat bahwa masyarakat yang terkena bencana akan mengalami beberapa kerentanan secara sosiologis antara lain:

pertama, hilangnya sistem sosial yang telah mapan. Tuntutan untuk membuatnya pulih tentu membutuhkan pendampingan agar mereka dapat dengan segera bangkit dari keterpurukan. Karena pada hakekatnya masyarakat korban bencana dalam kondisi sakit secara sosial yang tentunya hanya dapat diobati dengan proses sosial lagi.

Kedua, hilangnya solidaritas sosial yang telah mapan. Ancaman dari hilangnya solidaritas sosial tersebut bisa mengakibatkan timbulnya dorongan bagi individu untuk berbuat jahat.

Ketiga, terkurasnya mobilitas sosial sehingga membuat masyarakat akan kehilangan kebiasaan yang dilakukan. Ancamannya dapat berupa hilangnya kesempatan dalam mencari kebutuhan hidup.

Melihat begitu besarnya dampak yang harus diterima oleh para korban bencana tentu sudah menjadi keharusan dilakukan penanggulangan bencana secara terpadu. Semua pihak juga harus lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungan dan memantapkan kesadaran serta memiliki kesiap-siagaan yang tinggi dalam menghadapi bencana.

Pemerintah pun telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada awal januari 2008 lalu. Lembaga ini dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan adanya lembaga khusus ini diharapkan penanggulangan bencana akan dapat dilakukan secara maksimal, terlebih lagi dengan adanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan mempermudah koordinasi dalam penanganan bencana.

Perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang terkena bencana selama ini juga sangat besar karena pada hakekatnya setiap bencana baik yang disebabkan faktor alam maupun karena ulah manusia yang menimpa masyarakat merupakan bencana bagi bangsa indonesia. Oleh karena itu, selama ini penanggulangannya telah diupayakan melalui berbagai cara dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui koordinasi penanganan sejak di tingkat lokasi bencana di daerah hingga di tingkat nasional.

Beragam bantuan dan upaya perlindungan sosial diberikan bagi mereka yang terkena bencana. Di samping untuk program tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi, pemerintah juga berusaha untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban hidup masyarakat serta menghindarkan mereka dari ancaman kemiskinan.

Salah satu program pemerintah yang dikhususkan kepada masyarakat yang rentan terhadap bencana adalah PNPM-Daerah Tertinggal dan Khusus. Program ini diberikan pada daerah-daerah tertinggal dan yang mengalami konflik sosial dan bencana alam. Tujuannya untuk membantu Pemerintah Daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah-daerah tertinggal dan khusus.

Di samping itu, untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat dapat juga memanfaatkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program PNPM Mandiri masyarakat dapat menentukan sendiri tentang kegiatan apa yang akan dilakukan. Sedangkan melalui Program KUR masyarakat dapat merintis atau membangun kembali usaha sehingga dapat segera bangkit dari bencana.

Dengan adanya beragam program tersebut diharapkan memberikan rasa optimisme masyarakat yang dilanda bencana. Bagi masyarakat yang sebelumnya menekuni bidang wirausaha bisa tetap optimis membangunnya kembali karena pemerintah telah memberikan kemudahan pinjaman melalui program KUR. Sedangkan bagi yang kehilangan pekerjaan dapat diatasi dengan adanya program pembangunan infrastruktur atau yang bersifat padat karya guna membuka kesempatan kerja.

Justru yang terpenting dari semuanya itu adalah kesiapan masyarakat (community preparedness) dalam menghadapi dan menghindari bencana alam dan bencana sosial. Jadi aspek mitigasi bencana adalah harus diutamakan ketimbang penanggulangan bencana.

Terbukti dari pengalaman Negara-negara yang seringkali diterpa bencana misalnya seperti Jepang, Turki dan negara lainnya di mana mereka sangat menekankan pada aspek mitigasi/pencegahan bencana, maka masyarakatnya sangat siap dan faham bagaimana hidup dan menyikapi bencana ini. Di mana bencana terjadi, maka dengan kapasitas mitigasi bencana ini, korban dan kerugian serta kerusakan dapat ditekan sehingga minimal sekali.

Namun di Indonesia justru aspek mitigasi bencana dan kesiapan masyarakat belum digarap dengan baik dan optimal. Ini dikarenakan kementerian dan lembaga masih tersekat-sekat dalam menjalankan programnya. Untuk membangun kapasitas mitigasi bencana dan membangun kesiapan masyarakat, diperlukan tingkat koordinasi yang tinggi dan ’niat’ dari berbagai unsur untuk bersama-sama bekerja membangun sistem mitigasi bencana yang saling terkait.

Ini yang belum mantap, dan ini tantangan kita semua ke depan, mampukah kita bekerjasama, melepaskan ego sektoral dan ego wilayahnya untuk bersama membangun sistem dan kapasitas mitigasi nasional (pusat dan daerah) yang mantap dan efektif?

Penutup

Paradigma pendekatan penanggulangan bencana yang menilai bahwa korban bencana merupakan pihak yang tidak berdaya sudah saatnya dirubah menjadi penanggulangan bencana yang bersifat pemberdayaan. Penanggulangan bencana yang dilakukan harus memandang korban sebagai manusia yang aktif dengan kapasitas dan latar belakang sosial serta motivasi dan sikapnya masing-masing.

Dengan demikian, dalam implementasinya pemberian bantuan yang bersifat fisik dan temporer dengan tujuan pemulihan kondisi selayaknya dilengkapi dengan pemberian bantuan yang bersifat memberdayakan masyarakat di masa mendatang.

Oleh karena itu berbagai upaya penanggulangan bencana hendaknya selalu mempertimbangkan dampak jangka panjang serta selalu menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada masyarakat dengan tujuan mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan meningkatkan kapasitas masyarakat.

Yang justru yang harus dikembangkan adalah sistem dan kapasitas mitigasi bencana mulai dari pusat sampai ke daerah bahkan sampai pada kesiapan masyarakat. Ini yang mampu menekan kerugian, kerusakan dan korban bencana bilamana bencana terjadi.

Di muat di Majalah Komite Edisi 01 Februari 2009