Jumat, 20 Maret 2009

Kemiskinan dalam Pemenangan Politik

Kemiskinan kerapkali menjadi primadona topik pembicaraan baik dalam diskusi atau pun seminar yang seakan tak pernah habis untuk dibahas. Topik kemiskinan selalu hangat menjadi perbincangan di kehidupan berbangsa dan bernegara.


Momentum pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden pun ikut mendongkrak “popularitas” kemiskinan. Tak sedikit dari mereka baik tokoh politik maupun partai politik yang menjadikan isu kemiskinan sebagai komoditas kampanye menjaring suara pemilih guna meraup simpati rakyat. Berbagai cara digunakan oleh kontestan untuk meraup simpati masyarakat dengan berbekal kemiskinan. Dari menguraikan air mata, memakan nasi aking, berderma dengan pamrih, beriklan ratusan milyar, mengkritik pemerintahan yang sedang menjalankan amanah, menyerang kandidat lain, merusak pohon (dengan memaku poster dan baliho kandidat), memberikan janji program penghapusan kemiskinan, sampai dengan melakukan berbagai cara agar dapat “menumpang” program-program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan untuk bisa memanfaatkannya bagi kepentingan pemenangan pemilu.


Perilaku kandidat legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden yang menggunakan isu kemiskinan telah sedikit banyak membentuk opini masyarakat bahwa kita ini adalah bangsa yang miskin dan terjadi pemiskinan yang parah. Pemerintah seakan-akan tampak bodoh, tidak berbuat apa-apa. Hampir seluruh media, baik media cetak maupun media elektronik telah mencitrakan para kandidat ini adalah seakan-akan pahlawan atau ‘Satrio Piningit’ yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dalam menghapus kemiskinan.


Dalam menyikapi ini semua, sebagian besar masyarakat awam haruslah pandai-pandai menyaring berbagai informasi yang diterima. Memang sangat disayangkan bahwa isu kemiskinan digunakan oleh para kandidat legislatif dan Presiden serta wakil Presiden sebagai ‘senjata’ politik untuk meraih kepentingan atau kemenangan politik. Ini menunjukkan bahwa kadar kenegarawanan (statemanship) dari para kandidat demikian rendah. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, tidak mungkin para kandidat ini akan menggunakan isu kemiskinan ini untuk digunakan menyerang lawan-lawan politiknya. Bila kadar kenegarawannya para kandidat ini cukup tinggi, mereka akan mampu mengeyampingkan segala urusan dan kepentingan politik mereka dan golongannya dan memandang isu kemiskinan ini adalah suatu persoalan bangsa yang harus dibahas bersama tanpa melihat warna politik dan latar belakang ideologinya. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, tidak akan ‘tega’ mereka menjual isu kemiskinan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, sementara masyarakat miskin tidak mendapatkan apa-apa yang nyata dari mereka. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, maka mereka akan mengajak lawan-lawan politiknya untuk bekerja bersama menangani persoalan kemiskinan ini.


Hal ini telah dilakukan dan ditunjukkan dengan baik oleh Barack Hussein Obama, Presiden Amerika Serikat periode 2009 – 2014, pada saat berjuang untuk memenangkan kursi kepresidennya. Mengapa di Indonesia yang katanya Negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, sikap dan kadar kenegarawan para elit-elit politik sangat rendah? Bisakah mereka bertemu dengan lawan politiknya bahkan mengajak untuk membangun bangsa dan melupakan persaingan atau kompetisi pada saat berjuang meraih kemenangan politik?


Oleh karena itu, jangan disalahkan bilamana masyarakat semakin muak dan bosan dengan perilaku para kandidat dan elit-elit politik saat ini. Isu kemiskinan tidak dilihat lagi secara obyektif tapi sebaiknya isu kemiskinan dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Dan ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada para kandidat tersebut.


Bagaimana menyikapi hal ini, pada hemat saya, sudah waktunya para elit yang sedang dan akan bertarung dalam meraih kemenangan dalam pemilu untuk bicara lebih jelas, konkrit dan memberikan solusi-solusi nyata serta realistis mengenai penghapusan kemiskinan dan tidak terjebak pada memberikan janji-janji kosong, menggunakan isu kemiskinan menjadi bagian dari politik pencitraan atau pelisptikan kemiskinan. Juga tidak terjebak pada perilaku yang sifatnya ‘show of force”, atau ‘menunjukkan dirinya jauh lebih bisa mampu dan handal dalam menghapuskan kemiskinan. Masyarakat sangat paham bahwa penghapusan kemiskinan merupakan tugas dan kerja bersama. Tidak ada satu orangpun yang dapat memproklamirkan bahwa dirinya atau kelompoknya saja yang paling hebat dalam upaya menghapus kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan adalah milik rakyat karena rakyatlah yang bekerja paling keras untuk meningkatkan kesejahteraannya.


Sangatlah jelas bagi masyarakat, bahwa para kandidat yang menggunakan isu kemiskinan untuk digunakan menyerang lawan-lawan politiknya dan juga menyerang pemerintahan yang sah adalah kandidat yang kadar kenegarawannya rendah dan diragukan kemampuan dan keteguhannya dalam menghapus kemiskinan. Bilamana menang, belum tentu isu kemiskinan akan menjadi prioritasnya lagi. Sejarah telah banyak membuktikan untuk hal ini. Terpulang kepada masyarakat apakah masyarakat akan memilih kandidat yang kadar kenegarawannya tinggi atau rendah.


Secara faktual, tahun 2009 memang menjadi tahun yang penuh tantangan dan harapan bagi pemerintah khususnya dalam usaha mengurangi jumlah kemiskinan. Sebagai tahun “politik” dan adanya dampak krisis keuangan global maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap dinamika pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di tahun ini pula, ujung pelaksanaan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009.


Oleh karena itu, pemeritah kembali memberikan prioritas lebih bagi pengurangan kemiskinan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009. Dalam RKP 2009 pemerintah tetap akan menekankan penurunan tingkat kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Untuk itu tema RKP 2009 adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan dengan 3 prioritas yaitu peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan pedesaan, percepatan pertumbuhan yang berkualitas, dan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian.


Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2008 Tentang APBN 2009, sasaran tingkat kemiskinan pada tahun 2009 ditetapkan pada rentang 12 – 14 % yang berarti lebih rendah dari capaian tahun 2008 sebesar 15,42 %. Adanya target tersebut membuat banyak kalangan dan pemberitaan media massa yang pesimis bahwa angka tersebut akan tercapai. Bahkan mereka memprediksi angka kemiskinan di tahun 2009 ini akan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, perasaan optimis dapat mengurangi kemiskinan selayaknya kita tanamkan dalam diri setiap insan di negeri ini. Sebagaimana, rasa optimistis yang dimiliki pemerintah untuk bisa mencapai target ini melalui pelaksanaan program-programnya.


Rasa optimisme tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Pelaksana Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dalam evaluasi awal terhadap perkembangan penanggulangan kemiskinan Tahun 2009 pada bulan Februari lalu. Evaluasi tersebut menggunakan capaian pada tahun 2008 sebagai dasar perhitungan (baseline) dengan jumlah penduduk miskin per bulan Maret 2008 tercatat berjumlah 34,96 juta jiwa (15,42%). Dengan pertimbangan perkembangan dampak krisis keuangan global di Indonesia, maka Pemerintah mengusulkan pada DPR untuk merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 yang semula direncanakan sebesar 6% menjadi 4 – 5 %, dengan target inflasi sebesar 6,0%. Perubahan target pertumbuhan ekonomi tersebut membuat proyeksi angka kemiskinan berdasarkan prakiraan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 29,99 juta jiwa (13,23%).


Akan tetapi jika inflasi melewati angka 9% dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat 4,5 %, maka jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 14,87% atau sekitar 33,71 juta jiwa. Angka tersebut tentunya tetap lebih rendah dari angka kemiskinan tahun 2008. Rasa optimisme turunnya angka kemiskinan tetap terjaga karena adanya intevensi langsung dari pemerintah yang memberikan bantuan tunai masyarakat tanpa lewat birokrasi. Pemerintah juga telah merencanakan berbagai percepatan program-program penanggulangan kemiskinan dalam 3 klaster. Pemerintah juga menetapkan program PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat di Klaster 2 dan 3 sebagai bantalan pengaman untuk menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja termasuk menampung PHK.

Demikian juga dengan program-program pemerintah yang tercakup dalam klaster pertama yaitu Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS, akan sangat berperan besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan jika dapat dilaksanakan secara efektif sejak triwulan pertama tahun 2009.


Untuk program PNPM Mandiri diperkirakan dapat menyalurkan Bantuan Langsung masyarakat (BLM) sebesar Rp. 11,01 trilyun pada tahun 2009. Dengan jumlah tersebut makan diharapakan jumlah penerima manfaat langsung akan mencapai 8 - 9 juta orang dan penyerapan tenaga kerja sebesar 3 – 4 juta orang. PNPM Mandiri secara tidak langsung juga akan memberikan manfaat kepada lebih dari 33 juta masyarakat. PNPM Mandiri sendiri telah dinyatakan oleh berbagai Lembaga Internasional sebagai program pemberdayaan masyarakat (community driven development program/CDD) yang terbesar di dunia dalam cakupan dan yang paling lengkap. Dengan jumlah peserta aktif dalam program-program yang berada dalam wadah PNPM Mandiri, yaitu PNPM-Perdesaan yang dulu namanya Program Pengembangan kecamatan (PPK) dimulai tahun 1998, PNPM-Perkotaan yang dulunya adalah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai sejak tahun 1999, dan program-program lainnya, maka peserta aktif sampai dengan bulan Oktober 2008 tercatat sekitar 41, 3 juta jiwa. Dan peserta tidak langsung adalah sekitar 24 juta jiwa. Tersebar di hampir semua desa terutam desa-desa miskin dan tertinggal di Indonesia.


Oleh karena itu, telah sekitar banyak perwakilan dari 33 negara yang dikirim untuk mempelajari PNPM Mandiri ini baik secara keseluruhan maupun pada program-program yang berada dalam PNPM Mandiri. Justru media massa luar negeri lebih gencar dalam mengapresiasi keberhasilan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, misalnya PNPM Mandiri, PKH, BLT, BOS dan Jamkesmas (hanya 3 negara yang memberikan Jamkesmas bagi masyarakat miskin yang menanggung secara gratis operasi besar dan berat misalnya operasi jantung, ginjal, kanker, dan lain-lain dan Indonesia salah satunya).


Di sisi lain melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009, pemerintah menetapkan tambahan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Rp 1,4 triliun menjadi Rp 3,4 triliun dengan target penyaluran kredit kumulatif sebesar Rp. 34 Trilyun sampai dengan tahun 2009. Besarnya dana penjaminan tersebut diprediksi akan menyerap sebanyak 4,5 juta tenaga kerja.


Di samping itu, peluang bagi mereka korban PHK untuk memperoleh bantuan usaha sangat besar. Pekerja korban PHK bisa diarahkan untuk menghubungi unit pelaksana program PNPM Mandiri seperti Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di tingkat kecamatan di desa dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di tingkat kelurahan di perkotaan sehingga dapat mengajukan permohonan kredit usaha. Jika beragam upaya yang ada tersebut dapat terlaksana, maka target penanggulangan kemiskinan sebagai indikator pencapaian pemerintah tentunya dapat terpenuhi.


Program-program yang dijalankan oleh Pemerintah saat ini tidak banyak direspon positif dan didukung oleh para elit-elit kandidat yang sedang berjuang untuk meraih suara rakyat dalam pemilu legislatif dan Presiden & Wakil Presiden. Sementara masyarakat, khususnya pemanfaat program-program ini sangat antusias memanfaatkan dan menjalankan program ini. Maka saat ini terjadi adanya kesenjangan aspirasi politik antara masyarakat dan wakil-wakil yang sesungguhnya harus menyuarakan aspirasi masyarakat miskin. Buktinya, masih banyak daerah-daerah yang DPRD-nya menolak untuk menyediakan dana daerah untuk program bersama untuk PNPM Mandiri. Bahkan ada yang secara eksplisit menolak untuk mendukung pelaksanaan PNPM Mandiri dengan tidak menyediakan dana partisipasi daerahnya dengan berbagai alasan, padahal masyarakatnya sangat antusias.


Penutup


Perdebatan mengenai isu kemiskinan yang dilakukan oleh para kandidat yang sedang berjuang dalam pemenangan Pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden dan wakil Presiden akan menunjukkan sampai sejauh mana kadar kenegarawan masing-masing kandidat tersebut. Bila tarafnya masih menggunakan dan memanfaatkan isu kemiskinan sebagai senjata untuk ‘pamer’ dan digunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan-lawan politiknya, maka pada hemat saya, ini menunjukkan kadar kenegarawannya masih rendah. Terpulang kepada kita semua dalam menentukan pilihan kepada kandidat yang betul-betul memperjuangan nasib rakyat banyak terutama rakyat miskin ke depan.

Dimuat di majalah KOMITE, edisi 15-31 Maret ‘09

Jumat, 06 Maret 2009

Pemberdayaan Masyarakat, Solusi Cerdas Bagi Kemajuan Bangsa

Persoalan kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang tidak hanya disebabkan karena faktor ekonomis namun berkaitan pula dengan kerentanan dan kerawanan seseorang atau kelompok masyarakat untuk menjadi miskin. Paradigma kemiskinan yang menyangkut sifat, kondisi dan konteks kemiskinan menjadi sangat penting dalam menerapkan langkah kebijakan yang tepat dalam mengatasinya.

Kemiskinan pada mulanya senantiasa dikaitkan dengan faktor ekonomis baik dalam takaran tingkat pendapatan ataupun tingkat konsumsi individu atau kelompok. Pandangan ini memberikan pengaruh terhadap pendekatan yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan. Bank Dunia dan Bank pembangunan Asia (ADB) pernah menggunakan ukuran garis kemiskinan dengan tingkat pendapatan $ 1 per hari. Begitu pula yang berlaku di negara-negara berkembang yang berpatokan pada tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dengan ukuran kebutuhan hidup minimun atau kebutuhan kalori.

Paradigma ekonomi tersebut membuat banyak negara-negara berkembang yang menelorkan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi. Para pengambil keputusan pun memiliki pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun regional yang dapat dilihat dari pendapatan perkapita bisa mendorong kegiatan ekonomi lainnya (trickle down effect) sehingga dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan peluang berusaha. Dengan begitu, maka persoalan kemiskinan secara tidak langsung akan terentaskan.

Akan tetapi, asumsi tersebut tidak sepenuhnya terealisasi. Pengalaman banyak memberikan pelajaran berharga bahwa terdongkraknya produk domestik bruto (GNP) ternyata tidak berimbas langsung pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang ada masih lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduknya. Di tambah lagi, kerapkali terjadi ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin sehingga pertumbuhan yang terjadi belum terdistribusi secara merata terutama terhadap kaum miskin.

Harapan akan terjadinya tetesan kemakmuran sesuai dengan harapan kebijakan tersebut akhirnya tidak berlaku sepenuhnya. Kesejahteraan dan kemakmuran yang ada umumnya hanya dapat dinikmati kelompok masyarakat tertentu yang secara komparatif memiliki pengetahuan, ketrampilan, daya saing, yang lebih baik. Di sisi lain, bagi masyarakat miskin justru jarang mengecap manisnya hasil pembangunan tapi justru proses pembangunan yang dilakukan membuatnya termarginalisasi, baik fisik maupun sosial.

Ketidaksempurnaan pola pendekatan trickle down effect membawa perubahan pola pengentasan kemiskinan selanjutnya diwujudkan melalui pola bantuan langsung. Lagi-lagi pendekatan semacam ini menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan serta memperlemah daya kreasi dan inovasi masyarakat.

Dengan berlatar belakang pendekatan penanggulangan yang dilaksanakan terdahulu memang sudah seharusnya arah penanggulangan kemiskinan lebih diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.

Konsep pemberdayaan masyarakat atau komunitas memang sudah mulai dikenal sejak tahun 60-an. Konsep Community Development (CD) merupakan sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). Tujuan dari konsep ini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan.

Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting mengingat kompleksitasnya masalah kemiskinan yang ada. Penanggulangan kemiskinan tentu bukan monopoli pemerintah dengan berbagai departemen sektoralnya tapi penanggulangan tersebut merupakan permasalahan multidimensi yang menjadi tanggungjawab seluruh pihak-pihak terkait.

Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu pilar kebijakan penanggulangan kemiskinan terpenting. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dianggap resep mujarab karena hasilnya dapat berlangsung lama. Isu-isu kemiskinan pun senantiasa cocok diselesaikan akar masalahnya melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat ini justru yang sangat diminati masyarakat karena mewujudkan impiannya dan bukan impian elit-elitnya karena itu masyarakat sangat antusias dalam melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga sangat mengedepankan terciptanya masyarakat yang lebih bermartabat. Karena, pemberdayaan masyarakat ini bukan sekedar program bagi-bagi duit namun ada proses pembangunan karakter masyarakat di dalamnya. Dengan demikian jika karakter masyarakat baik maka akan baiklah karakter bangsa ini. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang pada dasarnya membangun bangsa yang berbudi pekerti luhur atau akhlakul karima. Demikian juga tujuan semua agama.

Agenda pemberdayaan masyarakat sangat relevan dengan apa yang dimaksud oleh Allah Swt dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 110 yang menyatakan, “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”.

Dari ayat tersebut dapat kita pelajari tiga kandungan nilai dari cita-cita perubahan antara lain nilai humanisasi/emansipasi (ta’muruna bil ma’ruf), liberasi (tanhauna ‘anil mungkar), dan transendensi (tu’minuuna billahi). Nilai humanisasi bertujuan memanusiakan manusia. Bila kita korelasikan dengan pemberdayaan masyarakat dalam penanggungan kemiskinan maka nilai tersebut sangat sesuai dengan ruh pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Di mana, individu atau masyarakat miskin lebih diangkat derajatnya melalui pandangan bahwa mereka bukan lagi obyek pembangunan melainkan subyeknya.

Nilai yang kedua adalah liberasi atau kemerdekaan masyarakat dari kurungan kemiskinan. Kita semua tentunya harus menyatukan rasa dengan mereka yang masuk kategori miskin melalui kerja bersama sehingga mereka mampu menangani masalah serta mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan-kepentingannya.

Nilai ketiga adalah menambah dimensi transendensi. Kita semua menyadari bahwa dalam diri kita terkadang terlalu banyak terseret pada arus hedonisme, materialisme, dan budaya negatif moderen. Sehingga, terkadang pula kita lupa dimensi transendental yang menjadi bagian fitrah kemanusiaan bahwa Tuhan telah melimpahkan segala nikmat yang dapat dirasakan dan dinikmati di dunia ini sebagai rahmat Tuhan yang patut disyukuri.

Mengingat begitu pentingnya aspek pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan maka pemerintah pun menjadikannya sebagai arus utama dalam menetapkan program-program penanggulangan kemiskinan yang ada. Salah satu program penanggulangan kemiskinan yang terbukti efektif,adalah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). PNPM Mandiri ini merupakan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja yang difokuskan untuk kepentingan rakyat kecil melalui rural oriented, urban oriented dan pendekatan mengatasi kemiskinan dari si miskin.

Prinsip-prinsip PNPM Mandiri adalah pemberdayaan masyarakat yang memprioritaskan kelompok masyarakat miskin. Keterlibatan masyarakat miskin itu digalakkan dengan pendampingan yang dilakukan oleh pengawas dari berbagai level pemerintahan. Sedangkan pengambilan keputusan dilaksanakan secara sederhana di tingkat lokal, yaitu oleh masyarakat sendiri dan didanai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat luas.

PNPM Mandiri sesuai dengan rencana akan dilaksanakan minimal hingga 2015, sejalan dengan kesepakatan Indonesia pada tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDGS). Dengan rentang waktu pelaksanaan tersebut, PNPM Mandiri dijalankan melalui beberapa fase antara lain tahap pembelajaran, tahap kemandirian dan tahap keberlanjutan. Penutup Penguatan paradigma pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan tentu sangat penting untuk terus dilakukan dan ditingkatkan. Bahkan paradigma tersebut selayaknya dipahami bukan sebagai upaya memberantas kemiskinan, tapi meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Pendekatan pemberdayaan tersebut berarti pemberdayaan terhadap kelompok rumah tangga miskin sehingga keikutsertaan warga yang tidak miskin dapat dibatasi.

Hal itu tentunya tidak mudah jika belum tercipta kemandirian lembaga masyarakat sebagai wadah perjuangan masyarakat miskin yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka. Sehingga mereka mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (pro poor) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance).

Kondisi semacam ini tentu hanya diwujud jika para pemangku kepentingan yang diberi amanah sebagai pemimpin masyarakat merupakan oarang-orang yang memiliki sikap peduli, berkomitmen kuat, ikhlas, relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk mengambil keuntungan bagi kepentingan pribadi ataupun golongannya.

Dimuat di Majalah Komite edisi 1 Maret 2009

LKM Dan percepatan Program KUR

Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu program pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan usaha mikro dan kecil tersebut masuk dalam upaya yang diibaratkan membantu masyarakat agar punya ‘pancing’ dan ‘perahu’ sendiri. Dalam rangka mempercepat penyaluran KUR, LKM diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara bank dengan masyarakat pegiat UMKM.

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di negeri ini merupakan salah satu solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi para pegiat usaha mikro dan kecil terutama dalam bidang permodalan. Keberadaan keuangan mikro telah membantu program pemerintah dalam pembangunan karena lembaga ini dapat menjangkau masyarakat yang tidak terjangkau oleh perbankan.

Keberhasilan LKM dalam memberdayakan ekonomi masyarakat tidak terlepas dari keberadaannya yang memuat tiga elemen kunci. Menurut versi Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, tiga elemen kunci tersebut antara lain, pertama, tersedianya beragam layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Kedua, memberikan pelayanan pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Ketiga, dalam pemberian layanan menggunakan prosedur dam mekanisme yang sederhana, kontekstual dan fleksibel sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Pendekatan LKM tersebut pada hakekatnya lebih membumi yang dibandingkan pendekatan formal perbankan serta lebih mudah diakses bagi masyarakat kecil. Perlakuan yang demikian membuat masyarakat lebih ‘nyaman’ untuk mengakses pinjaman pada LKM yang ada. Selain itu, lembaga ini juga memiliki kelebihan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar sehingga dapat membangun kontrol sosial dan kepercayaan sehingga memberikan keuntungan pada rendahnya kredit yang macet.

Kepercayaan masyarakat juga tercipta karena masih ada keengganan dari pihak perbankan dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha mikro dan kecil. Salah satu alasannya adalah anggapan bahwa kelompok atau individu yang masuk dalam predikat masyarakat miskin sangat tidak bankable.

Hal ini menyebabkan seolah-olah perbankan menilai bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin akan mendatangkan biaya transaksi dan resiko yang tinggi. Mereka lebih cenderung melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.

Kita semua tentu menyadari bahwa salah satu hambatan utama sulitnya sektor UMKM berkembang adalah karena terbatasnya sumberdaya finansial karena kebanyakan sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memutus kreditnya.

Oleh karena itu, melalui program penanggulangan kemiskinan klaster ketiga yang berupa program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pemerintah terus berusaha meningkatkan dan memberdayakan sektor UMKM melalui kemudahan dalam memperoleh kredit modal. KUR disalurkan oleh enam bank pelaksana yaitu BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri.

Melalui program KUR, tidak ada alasan lagi bagi bank pelaksana untuk tidak menyalurkan kredit bagi usaha kecil karena risiko kemacetan sudah diantisipasi dengan adanya penjaminan yang dilakukan oleh Askrindo dan PT Sarana Pengembangan Usaha (SPU).

Kebijakan tersebut mendorong bank lebih aktif memberikan kredit karena sebagian atau semua risiko dijamin dengan demikian risk premium akan rendah. Selain itu, dengan adanya penjaminan kredit dapat mempercepat proses kredit sebab prosedur penilaian jaminan yang rumit dapat dipangkas sehingga dapat menurunkan biaya transaksi.

Hasilnya pun dapat kita rasakan dari realisasi KUR per tanggal 31 Desember 2008 sebesar Rp 12,456 triliun untuk 1.656.544 debitur dengan rata-rata kredit Rp 7,52 juta per debitur. Memang, jumlah itu belum sepenuhnya terserap keseluruhan dari total dana yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp14,5 triliun pada 2008.

Pada tahun 2009, pemerintah memberikan dana penjaminan sebesar 2 triliun dan ada penambahan sebesar 1,4 triliun dengan gearing ratio 1:10, maka diharapkam KUR pada tahun ini dapat disalurkan ke masyarakat sebesar 34 triliun dengan jumlah sasaran 4 juta nasabah.

LKM dan KUR

Lalu bagaimana dengan posisi LKM dengan adanya program KUR yang penyalurannya dilakukan melalui perbankan? Para pelaku LKM selayaknya tidak perlu khawatir. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak akan merusak atau mengganggu dan menjadi pesaing dari LKM, karena LKM juga dilibatkan dalam penyaluran kredit. Lembaga ini diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara bank dengan debitor kredit dalam program percepatan Program KUR yang dinilai belum memiliki kesiapan dalam standar pelayanan penyalurannya.

Sebagaimana yang sering diamanatkan Menkokesra, Aburizal Bakrie dalam berbagai kesempatan dengan meminta para kepala daerah untuk mendorong pengusaha mikro di daerah masing-masing untuk mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk mengurangi masyarakat miskin. Di samping itu, guna menggenjot KUR yang berujung pada pengurangan masyarakat miskin, pemerintah juga akan membuat kerja sama dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat berfungsi sebagai jembatan antara bank dan debitur kredit untuk menyalurkan KUR.

Pemerintah juga sedang memproses kebijakan KUR ini, dimana untuk kredit dengan nilai 5 juta ke bawah akan ditangani oleh BRI karena sudah berpengalaman dan sudah mempunyai jaringan yang luas hingga ke pelosok. Sedangkan kredit 5-500 juta akan ditangani lima bank pelaksana lainnya. Apabila bank pelaksana belum mempunyai jaringan yang luas maka mereka didorong untuk bekerjasama dengan LKM dalam menyalurkan KUR kepada masyarakat melalui pola linkage.

Kebijakan tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi LKM untuk semakin besar perannya dalam memberdayakan usaha masyarakat kecil. Untuk itu, kalangan perbankan yang melakukan linkage dengan LKM-LKM harus melakukan fit and proper test serta harus memiliki standar prosedur yang jelas dalam hal penyaluran KUR.

Tantangan tersebut tentu tidak mudah, mengingat keberadaan LKM-LKM sekarang ini sangat sederhana. Karenanya, pembinaan terhadap LKM yang ada harus terus dilakukan agar memenuhi standar pelayanan dalam penyaluran KUR. Jika hal itu sudah terwujud maka percepatan program KUR semakin mudah tercapai dan masyarakat usaha kecil dapat lebih mudah mengakses dana untuk tambahan modal.

Penutup

Pemerintah telah mengagendakan empat langkah untuk mempercepat realisasi program KUR antara lain: pertama, meningkatkan penyertaan modal negara kepada perusahaan penjaminan sebesar Rp 2 triliun dan ditambah 1,4 triliun sehingga plafon KUR 2009 akan menjadi Rp34 triliun.

Kedua,
meminta komite kebijakan agar segera menyelesaikan standar operasional prosedur yang dapat dijadikan pedoman teknis oleh bank pelaksana dan perusahaan penjaminan. Ketentuan yang diatur didalamnya terutama terkait aspek status debitur baru dan "linkage program" untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kepada kredit mikro.

Ketiga, pemerintah akan lebih mengintesifkan sosialisasi program KUR ke seluruh pelosok tanah air. Dan keempat, pemerintah meminta bank pelaksana agar memperbaiki petugas lapangan yang melayani KUR. Pemerintah juga dalam proses merevitalisasi kembali Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) sebagai fasilitator yang membatu para pelaksana.

Koordinasi langkah-langkah pemberdayaan keuangan mikro untuk mempercepat akses pembiayaan usaha mikro yang ada memang harus terus dilakukan. Keikutsertaan LKM dalam penyaluran KUR diharapkan bisa membantu bank-bank yang belum memiliki jaringan penyaluran KUR di tingkat desa-desa. Upaya memperluas layanan merupakan langkah yang baik dan tepat agar mereka secepatnya berkembang, namun aspek kehati-hatian harus tetap terjaga. Sehingga upaya mempercepat penyaluran program KUR dapat berujung pada pengurangan kemiskinan dan pengangguran.

Dimuat di Majalah Komite edisi 15 Februari 2009