Selasa, 02 Juni 2009

Kebangkitan Nasional dan Kesenjangan Antar Daerah

Tanggal 20 Mei lalu menjadi momentum yang sangat berharga bagi bangsa ini karena kita telah memasuki abad ke-2, sejak tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini juga semakin bermakna karena adanya pelaksanaan pesta demokrasi baik pemilihan anggota legeslatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.


Untuk itu, sudah seyogyanya kita tetap memegang semangat dan nilai-nilai Kebangkitan Nasional yang diperjuangkan para pendahulu sebagai perekat jalinan persatuan dan kesatuan diantara kekuatan dan komponen bangsa. Sekaligus memegang teguh semangat mengejar ketertinggalan dan membebaskan diri dari keterbelakangan .


Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-101 pada tahun 2009 ini selayaknya kita jadikan sebagai sebuah momentum untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam memakmurkan seluruh masyarakat yang adil dan merata. Kebangkitan Nasional harus mampu mensejahterahkan segenap bangsa tanpa ada lagi kesenjangan antara kota dan desa atau predikat daerah maju dan tertinggal.


Memang, untuk mewujudkan itu semua tidaklah mudah. Beragam faktor kendala dan hambatan masih cukup banyak yang menghadang. Beragam pembangunan dalam upaya memajukan daerah tersebut pun terus digalakkan pemerintah. Namun, masih ditemukan beberapa permasalahan yang menjadi kendala dan hambatan dalam pembangunan daerah.


Hambatan yang ada antara lain terlihat dari adanya kesenjangan (disparitas) pembangunan antar wilayah yang ditandai dengan adanya daerah-daerah berpredikat tertinggal. Kondisi semacam ini semakin para dengan adanya perhatian pembangunan kawasan perbatasan yang masih menitik beratkan pendekatan keamanan dibandingkan kesejahteraan masyarakat.


Di samping itu, masih adanya permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal yaitu keterbatasan pengelolaan sumber daya lokal dan belum terintegrasinya dengan kawasan pusat pertumbuhan. Ditambah aspek pengembangan sumber daya manusia yang kualitasnya masih rendah yang mengakibatkan rendahnya kemampuan kelembagaan aparat dan masyarakat dalam mengelolah pembangunan.


Kondisi tersebut diperparah dengan faktor sarana dan prasarana terutama transportasi darat, laut, dan udara, telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah serta karakteristik daerah terutama berkaitan dengan daerah rawan bencana maupun konflik sosial.


Akibat dari itu semua, secara nasional kabupaten yang masih termasuk tertinggal di Indonesia berjumlah 199. Dari jumlah tersebut, 63 persennya berada di Kawasan Timur Indonesia atau sebanyak 123 kabupaten, sisanya 29 persen berada di Sumatera, 9 persen di Jawa dan Bali.


Intervensi Pemerintah


Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan di kawasan daerah tertinggal intervensi pemerintah dalam merangsang pertumbuhan pembangunan terus dilakukan. Salah satunya melalui program percepatan pembangunan daerah dan khusus (P2DTK) atau Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus (PNPM-DTK) di bawah kendali Menko kesra.


Target program ini untuk membantu pemerintah daerah membuka isolasi pembangunan, meningkatkan kemudahan hidup masyarakat terutama keluarga miskin, melalui penyediaan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi.


Khusus untuk program PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus, pemerintah pada tahun 2008 telah menyediakan total dana sebesar sebesar Rp181 Miliar. Di samping itu, pemerintah juga menyediakan dana bantuan langsung masyarakat (BLM) bagi PNPM Pedesaan bagi 2.389 kecamatan, PNPM Perkotaan dengan total pagu anggaran Rp 932 miliar, PNPM Infrastruktur Pedesaan sebesar Rp 515 miliar, serta untuk PNPM Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang sudah diberikan kepada 10.573 desa dengan bantuan sebesar Rp 100 juta per gabungan kelompok tani.


Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan anggaran dari APBN yang dialirkan ke daerah tertinggal. Berdasarkan data Kementerian Negara Daerah Tertinggal, Pada 2004, sekitar 19 persen dari total APBN mengalir ke daerah tertinggal, dan pada 2008 terdapat indikasi kenaikan yang signifikan, yaitu sudah mencapai sekitar 57 persen dari total APBN 2008.


Indikasi aliran dana APBN ini diantaranya adalah untuk program di bidang operasionalisasi kebijakan pada Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), dengan anggaran Rp251 miliar yang difokuskan pada bidang pengembangan energi alternatif .


Program lain yang bertujuan melakukan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan kondisi sosial ekonomi di daerah-daerah pasca konflik melalui Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dengan anggaran sebesar Rp461 miliar di 8 provinsi pada 32 kabupaten, 186 kecamatan, 2496 desa, belum termasuk 17 kabupaten di NAD dan Nias yang ditangani oleh BRR.


Ada juga program dengan tujuan mengembangkan kawasan produksi untuk penguatan perekonomian lokal di daerah tertinggal melaui program Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) dengan anggaran yang dialokasikan sebesar Rp59,9 milyar dengan lokasi di 62 kabupaten.


Ditambah lagi program untuk kegiatan Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT), Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) dan Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) dengan anggaran sebesar Rp193,9 milyar dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat, penguatan ekonomi masyarakat, membentuk lembanga-lembaga perdesaan dan KPPSB termasuk di daerah perbatasan.


Oleh karena itu, sebagai tindak lanjutnya pemerintah telah menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas RKP Tahun 2009 yaitu, peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan, percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; serta peningkatan upaya anti korupsi, reformasi birokrasi, dan pemantapan keamanan dan demokratisasi.


Pemerintah pun dalam menjalankan prioritas RKP 2009 tersebut telah menetapkan enam pengarusutamaan pembangunan, dan yang berkaitan langsung dengan pembangunan daerah tertinggal adalah pengurangan kesenjangan antarwilayah dan percepatan pembangunan daerah tertinggal.

Penutup


Peringatan Kebangkitan nasional yang dilaksanakan setiap tanggal 20 Mei sudah seharusnya kita sikapi sebagai tugas historis dan bukan hanya cukup pada ritual historis. Meski pada realisasinya tentu juga harus menyesuaikan dengan beragam tantangan dan dinamika yang berkembang.


Persoalan disparitas antar daerah di negeri ini harus menjadi prioritas pembangunan agar tidak ada lagi masyarakat yang tertinggal di tengah-tengah hiruk pikuk pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Beragam upaya tentunya harus ditingkatkan guna mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan tersebut tentunya bukan hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan.


Jika amanat pembangunan yang dijalankan melalui program yang ada tersebut dapat dijalankan dengan baik maka harapan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal akan mudah tercapai. Dengan demikian, maka semangat dan ruh Kebangkitan Nasional sebagaimana yang digelorakan pada tahun 1908 akan benar-benar nyata dalam negeri dan dapat dinikmati oleh segenap masyarakat. (dimuat di Majalah KOMTE edisi 1 Juni 2009)