Senin, 02 November 2009

Wujudkan Rumah Untuk Rakyat



Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (UUD 1945 Pasal 38 H ayat 1)


shom.doc


Salah satu sektor yang berperan sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia adalah perumahan dan permukiman. Pentingnya pemenuhan perumahan dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bahkan tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Tidak heran jika sektor ini senantiasa menjadi salah satu prioritas dalam program pembangunan nasional.


Di samping itu, pemenuhan atas perumahan dan permukiman juga dituangkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 40 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Dan secara lebih khusus juga perkuat dengan UU Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.


Rangkaian perundangan tersebut secara eksplisit mempertegas bahwa rumah atau papan maupun permukiman menjadi kebutuhan vital manusia yang sangat mendasar. Keberadaan rumah sebagai wadah tempat tinggal sesesorang ataupun unit sosial dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai tempat berlindung sekaligus tempat berinteraksi sosial.


Secara nasional, hak perumahan didefiniskan sebagai hak bagi setiap orang guna mendapakan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat. Sedangkan secara universal, rumah dikelpmpokkan sebagai bagian dari hak dasar bersama dengan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan dasar pangan, sandang, layanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya.


Meski pada dasarnya pemenuhan rumah merupakan kewajiban perseorangan dan peran negara dalam hal ini membantu akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut secara adil dan merata. Akan tetapi Pemerintah Indonesia menyadari bahwa masih ada masyarakat yang belum memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


Hal ini bisa dilihat dari permasalahan yang masih terus terjadi di sektor perumahan mulai dari ketidakmampuan memiliki rumah hingga bermukim di kawasan kumuh. Saat ini diperkirakan masih ada sekitar 7 juta dari 57 juta keluarga Indonesia belum memiliki rumah atau bermukim di rumah kumuh. Bahkan dari data Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), dari 50 juta rumah itu, yang permanen hanya sekitar 60 persen, atau 30 juta. Sisanya, sekitar 20 juta unit, tidak layak huni karena tidak memiliki sanitasi yang baik, listrik, dan air bersih.


Persoalan kawasan kumuh harus kita akui sebagai permasalahan yang cukup klasik bagi masyarakat di kota-kota besar. Kawasan kumuh yang ada sebenarnya bukan kawasan yang diperuntukkan bagi pemukiman penduduk. Namun oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah atau tidak tetap disulap menjadi tempat tinggal.


Di Indonesia, keberadaan kawasan kumuh saat ini terdapat di sekitar 500 kota dengan luasan wilayahnya cenderung mengalami peningkatan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), laju pertumbuhan kekumuhan di tanah air mencapai rata-rata 2,9 persen per tahun. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004, luas kawasan kumuh meningkat dari 47.000 hektare menjadi 54.000 hektare. Bahkan, Badan PBB yang menangani program pembangunan, United Nations Development Program (UNDP) memperkirakan, peningkatan luas pemukiman kumuh masih sebesar 1,37 persen setiap tahun antara 2004-2009.


PNPM Mandiri Perkim


Kebutuhan perumahan di Indonesia akan terus meningkat seiring dengan masih tingginya pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,3% per tahun. Akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut mengakibatkan penyediaan hunian di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan jumlah populasi. Jumlah backlog atau defisit penyediaan rumah akan terus bertambah jika tidak dilakukan langkah atau terobosan khusus.


Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi ketersediaan rumah layak huni bagi seluruh rakyat meskipun sebagai kebutuhan dasar tidak harus selalu dipenuhi melalui kepemilikan. Begitu pula dengan upaya yang dilakukan untuk penghapusan kawasan kumuh. Pemerintah menargetkan pembebasan kawasan kumuh perkotaan pada 2010 mampu mencapai 200 dari 500 kota di Indonesia. Pelaksanaan pembebasan kawasan kumuh ini dtargetkan bisa meningkat menjadi di 350 kota pada 2015. Sehingga Indonesia diharapkan sudah bebas dari kawasan kumuh pada tahun 2020.


Salah satu program yang bertujuan mencapai pemenuhan tempat tinggal layak huni adalah Program Nasional Pemberdayaan Masayarakat (PNPM) Mandiri Perumahan dan Permukiman. Program ini merupakan bagian dari pelaksanaan PNPM Mandiri yang dilaksanakan melalui fasilitas berbagai kegiatan yang terkait dengan bidang perumahan permukiman dalam upaya menumbuh-kembangkan kemampuan masyarakat dalam peningkatan kualitas rumah dan perumahan, pemenuhan kebutuhan rumah dan perumahan, serta peningkatan kualitas permukiman yang berbasis pemberdayaan masyarakat.


PNPM Mandiri Perumahan Permukiman ini bertujuan untuk membantu dalam mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui keterpaduan berbagai program pemberdayaan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan perumahan permukiman agar masyarakat miskin dapat menempati rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman.


Dalam pelaksanaanya, pendekatan dasar PNPM-Mandiri Perkim berbasis pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk perbaikan kualitas rumah masyarakat khususnya masyarakat miskin dan kualitas lingkungan permukiman, khususnya di kawasan kumuh. Pelaksananya dilakukan oleh kelompok masyarakat (Pokmas) dan kelembagaan PNPM Mandiri Perdesaan untuk wilayah perdesaan. Sedangkan di wilayah perkotaan dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Kelembagaan PNPM-perkotaan.


PNPM Mandiri Perkim sudah dimulai sejak 2006 lewat pemberdayaan komunitas perumahan dengan memberikan stimulan. Pada tahun 2009, PNPM Mandiri Perkim yang dijalankan Kementerian Perumahan Rakyat dengan komponen bantuan dana stimulan perumahan swadaya sebesar Rp135,6 milyar telah mencakup 19.000 unit dengan lokasi yang tersebar di 32 provinsi dan 202 kabupaten/kota. Sedangkan untuk tahun depan, direncanakan akan mencakup 22.000 unit dengan alokasi dana sebesar Rp153,6 milyar yang tersebar di 33 provinsi dan 154 kabupaten/kota.


Penutup


Pentingnya ketersedian rumah yang layak huni bagi segenap rakyat Indonesia sebenarnya telah menjadi perhatian pemerintah sejak awal kemerdekaan negeri ini. Pada Kongres Nasional Perumahan Rakyat yang pertama kali digelar pada 1950, dalam pidatonya Wapres M Hatta telah menyatakan cita-cita agar semua penduduk Indonesia memiliki rumah yang layak huni.


Komitmen mewujudkan cita-cita tersebut diwujudkan pemerintah dengan membentuk Djawatan Perumahan Rakyat. Di beberapa Daerah Tingkat II pada tahun 1952 didirikan Jajasan Kas Pembangoenan, yang bertugas membangun perumahan dengan harga di bawah harga pasaran, khususnya untuk golongan menengah kebawah. Sedangkan di tingkat Pusat pada tahun 1945`dibentuk Badan Perantjang Perumahan dan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB).


Kini memang sudah 59 tahun pidato Bung Hatta tersebut berlalu tapi cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud. Akan tetapi, semangat untuk memenuhi hak dasar berupa tempat hunian yang layak bagi seluruh rakyat sebagaimana diamatkan UUD 1945 tetap menjadi komitmen segenap pemangku kepentingan di negeri ini.


Melalui akselerasi berbagai program perumahan dan permukiman yang salah satunya melalui perluasan cakupan pendanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perumahan dan Permukiman untuk membiayai pembangunan perumahan masyarakat miskinn diharapkan hak segenap rakyat untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dapat segera terwujud. (dimuat di Majalah Komite edisi 1-15 Nov 2009)


Bencana Dan Kemiskinan



Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Salah satunya akibat terjadinya berbagai bencana di tanah air.

Negeri ini kembali berduka. Bencana alam yang menimpa sebagian rakyat Indonesia tersebut menorehkan kepedihan bagi segenap bangsa. Bencana berupa gempa bumi yang terjadi dalam kurun waktu sebulan seakan menegaskan kembali bahwa negeri ini sangat akrab dengan bencana.

Gempa yang melanda wilayah Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 lalu tidak hanya mengakibatkan rusaknya beragam infrastruktur yang ada di masyarakat namun juga menimbulkan puluhab korban jiwa. Terasa belum hilang rasa kepedihan, keprihatinan dari segenap penjuru tanah air, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR kembali mengguncang sejumlah wilayah di Sumatera Barat (30/9/2009). Gempa ini membuat puluhan ribu rumah, perkantoran, sekolah dan fasilitas umum rusak. Gempa juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur yang ada dan yang lebih tragis ratusan orang meninggal dunia.

Bencana alam seakan datang silih berganti melanda negeri kita. Beberapa tahun terakhir bencana mulai dari tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, gempa bumi, bahkan hingga tsunami kerap menimpa masyarakat Indonesia. Semua itu meninggalkan kepedihan, keprihatinan, hingga terciptanya peluang terjadinya kemiskinan baru di masyarakat.

Kita semua memang menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang wilayanya sangat rawan bencana. Dengan semakin tingginya intensitas dan frekuensi berbagai peristiwa bencana yang terjadi belakangan ini maka masalah penanggulangan bencana harus mampu menjadi salah satu prioritas agenda pembangunan nasional. Sebab akibat yang ditimbulkan dari setiap bencana yang terjadi akan memberikan efek yang besar terhadap korban baik secara psikologis maupun kesejahteraan hidupnya.

Secara sosial, masyarakat yang terkena bencana akan mengalami beberapa kerentanan secara sosiologis antara lain: pertama, hilangnya sistem sosial yang telah mapan. Tuntutan untuk membuatnya pulih tentu membutuhkan pendampingan agar mereka dapat dengan segera bangkit dari keterpurukan. Karena pada hakekatnya masyarakat korban bencana dalam kondisi sakit secara sosial yang tentunya hanya dapat diobati dengan proses sosial lagi.

Kedua, hilangnya solidaritas sosial yang telah mapan. Ancaman dari hilangnya solidaritas sosial tersebut bisa mengakibatkan timbulnya dorongan bagi individu untuk berbuat jahat. Ketiga, terkurasnya mobilitas sosial sehingga membuat masyarakat akan kehilangan kebiasaan yang dilakukan. Ancamannya dapat berupa hilangnya kesempatan dalam mencari kebutuhan hidup.

Di lihat dari aspek kesejahteraan hidup, masyarakat korban bencana sangatlah rentan. Kondisi yang demikian disebabkan hilangnya harta benda yang mereka miliki. Selain itu, usaha pemenuhan kebutuhan hidup akan terganggu mengingat mata pencaharian yang selama ini dilakukan ikut rusak akibat adanya bencana.

Kita bisa lihat pada para petani yang terpaksa gagal panen karena adanya bencana banjir. Tidak sedikit pula pengusaha kecil hingga menengah yang terpaksa gulung tikar karena asset yang dimiliki habis akibat bencana yang melanda. Gempa di Sumatera Barat misalnya, Depnakertrans memperkirakan sebanyak 70 ribu pekerja dari 46 perusahaan di Sumatera Barat diperkirakan kehilangan pekerjaan.


Perhatian Pemerintah

Melihat begitu besar dampak langsung dan ikutan yang diakibatkan bencana alam maka sangat realistis jika bencana dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, di samping faktor lain tentunya. Sebab setiap bencana yang terjadi membuka peluang tumbuhnya kemiskinan baru di masyarakat.

Munculnya kemiskinan baru karena bencana disebakan karena secara fakta empiris, bencana dapat memberikan kerugian bagi manusia. Kerugian dapat berupa kerugian nyawa, harta benda dan rusaknya lingkungan hidup yang didiaminya. Di samping itu, bencana juga dapat menimbulkan kerugian psikologis yang membuat masyarakat trauma dan hilang kemandirian hidupnya.

Fakta nyata kemiskinan yang terjadi akibat bencana dapat kita lihat dari tingginya angka kemiskinan yang terjadi akibat bencana Tsunami beberapa tahun yang lalu. Dampak kemiskinan di masyarakat korban tsunami sangat besar. Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), kemiskinan merupakan dampak yang paling penting dalam bencana alam. Sebab tidak kurang dari dua juta orang yang terjerumus dalam lembah kemiskinan akibat bencana tsunami yang menewaskan lebih dari 150.000 orang di wilayah pantai Samudera Hindia.

ADB secara rinci menyebutkan bahwa satu juta orang akan menjadi miskin di Indonesia sebagai negara yang paling menderita dengan lebih dari 100.000 orang tewas. Jumlah orang miskin di India meningkat sampai 645.000 orang dan di Sri Lanka 250.000 orang.

Menyadari begitu besarnya dampak yang harus diterima oleh para korban bencana tentu sudah menjadi keharusan dilakukan penanggulangan bencana secara terpadu. Semua pihak juga harus lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungan dan memantapkan kesadaran serta memiliki kesiap-siagaan yang tinggi dalam menghadapi bencana.

Perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang terkena bencana selama ini juga sangat besar karena pada hakekatnya setiap bencana baik yang disebabkan faktor alam maupun karena ulah manusia yang menimpa masyarakat merupakan bencana bagi bangsa indonesia. Oleh karena itu, selama ini penanggulangannya telah diupayakan melalui berbagai cara dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui koordinasi penanganan mulai tingkat lokasi bencana di daerah hingga di tingkat nasional.

Beragam bantuan dan upaya perlindungan sosial diberikan bagi mereka yang terkena bencana. Di samping untuk program tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi, pemerintah juga berusaha untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban hidup masyarakat serta menghindarkan mereka dari ancaman kemiskinan.

Salah satu program pemerintah yang dikhususkan kepada masyarakat yang rentan terhadap bencana adalah PNPM-Daerah Tertinggal dan Khusus. Program ini diberikan pada daerah-daerah tertinggal dan yang mengalami konflik sosial dan bencana alam. Tujuannya untuk membantu Pemerintah Daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah-daerah tertinggal dan khusus.

Di samping itu, untuk memulihkan kondisi ekonomi masyarakat dapat juga memanfaatkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui program PNPM Mandiri masyarakat dapat menentukan sendiri tentang kegiatan apa yang akan dilakukan. Sedangkan melalui Program KUR masyarakat dapat merintis atau membangun kembali usaha sehingga dapat segera bangkit dari bencana.

Dengan adanya beragam program tersebut diharapkan memberikan rasa optimisme masyarakat yang dilanda bencana. Bagi masyarakat yang sebelumnya menekuni bidang wirausaha bisa tetap optimis membangunnya kembali karena pemerintah telah memberikan kemudahan pinjaman melalui program KUR. Sedangkan bagi yang kehilangan pekerjaan dapat diatasi dengan adanya program pembangunan infrastruktur atau yang bersifat padat karya guna membuka kesempatan kerja.

Penutup

Penanganan pasca bencana sangat diperlukan guna meminimalisir dampak buruk serta memulikan kondisi para korban. Namun kita juga tidak boleh melupakan aspek kesiapansiagaan masyarakat (community preparedness) dalam menghadapi dan menghindari bencana alam dan bencana sosial sehingga aspek mitigasi bencana menjadi prioritas penting dalam menghadapi bencana.

Pentingnya menekankan pada aspek mitigasi/pencegahan bencana telah terbukti diberagam negara yang seringkali diterpa bencana misalnya seperti Jepang, Turki dan negara lainnya. Kondisi masyarakatnya yang sangat siap dan paham bagaimana hidup dan menyikapi bencana ini memberikan dampak yang tidak terlalu besar manakala bencana terjadi.

Di samping itu, upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi bencana harus didasari konteks kebijakan dan kerangka kerja yang tepat. Pendekatan penanggulangan bencana yang menilai bahwa korban bencana merupakan pihak yang tidak berdaya sudah saatnya dirubah menjadi penanggulangan bencana yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Karenanya implementasi pemberian bantuan yang bersifat fisik dan temporer harus dilengkapi dengan pemberian bantuan yang bersifat memberdayakan masyarakat. Dengan demikian akan mampu memberikan dampak yang positif dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan baru akibat bencana. (dimuat di Majalah KOMITE 15- 31 Oktober 2009)