Rabu, 08 April 2009

Kemiskinan dan Janji Politik

Sejak pemilu 1999 hingga pemilu 2009 ini, isu kemiskinan senatiasa dijadikan tema utama kampanye oleh partai politik maupun calon anggota legislatif guna menjaring suara rakyat. Kemiskinan seakan menjadi komoditas paling potensial dalam strategi politik yang mereka tawarkan agar memperoleh suara rakyat.


Suasana gegap gempita dan euferia politik melanda masyarakat pada saat kampanye rapat umum pemilu 2009 yang digelar selama kurun waktu tiga minggu mulai 17 Maret hingga 5 April tersebut. Partai politik pun berebut memasang strategi guna mendapat dukungan dari para pemilih. Beragam janji terlontar, mulai dari mengatasi kemiskinan, memperbaiki ekonomi serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.


Di masa kampanye ini, kita melihat bahwa sebagian pihak, khususnya politisi dan partai politik sering kali menjadikan kemiskinan sebagai terorika politik bahkan para calon anggota legeslatif berlomba-lomba memberikan ‘janji surga” dapat mengentaskan orang dari kemiskinan. Kemiskinan tak ubanya laksana gundukan emas yang dapat digali dimanfaatkan untuk meraup suara.


Mungkinkah janji yang mereka ungkapkan berupa peryataan akan menuntaskan masalah kemiskinan dan pengangguran sedemikian mudah dapat diwujudkan? Kita semua tentu tidak dapat memastikan. Karena pada kenyataan kemiskinan tidak dapat dituntaskan hanya dengan janji dan retorika politik saja tanpa adanya konsep dan program yang jelas.


Kita semua tentu sangat prihatin dengan beragam ulah politisi yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik tersebut. Bahkan ada yang menjadikan kemiskinan sebagai ‘sandera’ politik yang diwujudkan dengan sikap tidak setuju bahkan menolak pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan kepada masyarakat yang membutuhkan.


Salah satunya adalah program Bantuan Langsung Tunai yang diprogramkan pemerintah. Kalangan DPR hanya menyetujui penyaluran dana BLT untuk dua bulan. Padahal, jika mereka menyetujui untuk satu tahun, tentu dana tersebut sangat membantu masyarakat miskin yang sanggat membutuhkan sehingga angka kemiskinan akan dapat diturunkan.


Kecurigaan para politisi ternyata terus berlanjut terhadap program ini. Pada saat pencairan dana BLT 18 Maret lalu, masih banyak yang menuding bahwa pemberian dana BLT tersebut kurang tepat dengan alasan berdekatan dengan pemilu. Mereka khawatir kesempatan pemberian uang BLT tersebut dimanfaatkan sebagai kampanye terselubung. Pada hal kita semua tahu bahwa program BLT merupakan program pemerintah bukan program partai politik tertentu. Sikap penuh rasa curiga tersebut tentu sangat tidak baik untuk ditunjukkan mengingat penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM tersebut sudah menjadi amanah yang harus dilakukan sesuai yang tercantum dalam tercantum dalam APBN 2009 yang penyusunannya dilakukan tahun lalu.


Pada awalnya pemerintah mengusulkan penyalurannya selama setahun. Namun DPR meminta agar dipersingkat menjadi delapan bulan. DPR kemudian memutuskan agar BLT ini disalurkan selama delapan bulan dengan perincian enam bulan pada 2008 dan dua bulan pada 2009. Karenanya, jika pemerintah tidak menyalurkannya maka justru tidak menjalankan undang-undang tentang APBN.


Begitu pula dengan program lain yang bertujuan membantu masyarakat seperti Program Nasioanal Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, KUR dan lainnya. Menurut hemat saya beragam program penanggulangan kemiskinan yang ada harus tetap diajalankan sesuai dengan rencana. Meskipun untuk tahun ini tantangan yang dihadapi semakin besar.


Saya masih teringat bagaimana program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang merupakan bagian bagian dari strategi menghadapi krisis keuangan global, ternyata justru ditolak oleh sebagian kepala daerah. Padahal masyarakat sangat berharap dan antusias untuk menjalankan program tersebut. Penolakan lebih disebabkan pimpinan daerah curiga program PNPM adalah kampanye terselubung dari pihak tertentu. Ada juga yag menginginkan dana program tersebut disalurkan ke kas daerah sehingga mereka bisa mengawasi. Alasannya, kalau dana sudah sampai ke masyarakat, mereka tidak bisa mengawasi.


Sikap semacam ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah daerah seakan lebih mementingkan tujuan politik daripada tujuan mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Ketika masyarakat merindukan ada program yang segera membawa mereka keluar dari lingkaran kemiskinan tapi justru penguasa yang mencegahnya. Mereka seakan lebih mendengar suaranya sendiri atau golongannya dari pada suara masyarakatnya. Akibatnya, kebijakan yang diambil lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan dan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat.


Sangat tidak elegan tentunya, jika selalu mengaitkan setiap program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dengan upaya kampanye terselubung. Terlebih lagi, program PNPM Mandiri merupakan bentuk penyempurnaan program pemberdayaan masyarakat yang sudah dijalankan sejak 1998. Seumpama kail, program PNPM Mandiri ini bertujuan memberdayakan masyarakat agar mampu keluar dari kemiskinan secara mandiri. Tujuan mulia tersebut tentu sangat sulit tercapai tanpa ada dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah baik pusat maupun daerah.


Bagaimana terealisasi dengan sempurna jika dalam benak para pemangku kepentingan masih tertinggal pikiran dan kecurigaan bahwa program yang ada merupakan program partai atau golongan tertentu. Padahal program PNPM Mandiri adalah program pemerintah untuk rakyat agar terbebas dari kemiskinan secara mandiri.


Penutup


Pada masa kampanye sudah lazim para politisi mendesain janji sedemikian rupa agar dapat dipercaya oleh rakyat. Namun beragam janji tersebut selayaknya tidak terlalu muluk-muluk, terlebih lagi janji yang dilontarkan tanpa dilengkapi dengan konsep yang jelas dan terukur.


Begitu pula dengan janji akan menuntaskan masalah pengangguran dan kemiskinan karena pada hakekatnya masalah pengangguran hanya dapat diatasi dengan komitmen dan program yang berpihak pada rakyat miskin. Tidak cukup hanya dengan obral janji karena rakyat kita sudah ‘kenyang’ dengan janji. Mereka menunggu program nyata yang dijalankan agar dapat segera meraih kesejahteraan.


Dengan demikian, sepatutnya komitmen para tokoh terhadap kemiskinan di negeri ini hendaknya diwujudkan dengan langkah nyata serta ikut mendukung pemerintah mempercepat pengentasan kemiskinan. Bukan hanya menjadikan kemiskinan yang ada sebagai komoditas politik di masa kampanye pemilu. Dengan demikian, harapan menghapuskan kemiskinan dari bumi Indonesia akan semakin cepat menjadi kenyataan. Dimuat di majalah Komite edisi 1-14 April 2009

Tidak ada komentar: