Selasa, 12 Agustus 2008

BLT dan Pengurangan Subsidi BBM

“Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan menambah jumlah orang miskin baru, tetapi hanya mengurangi kenikmatan orang mampu.” (Wakil Presiden M. Jusuf Kalla)

Pilihan menaikan harga BBM merupakan opsi terakhir yang ditempuh pemerintah mengingat semakin melambungnya harga minyak yang menembus angka di atas 130 dollar AS per barel. Harga minyak tersebut memang telah jauh melebihi asumsi di APBN Perubahan 2008 sebesar 95 dollar AS per barel.

Dengan asumsi harga 95 dollar per barel maka besaran subsidi BBM mencapai Rp.126 triliun atau melonjak tiga kali lipat dari nilai yang ditetapkan dalam APBN 2008, yaitu Rp.45 triliun dengan asumsi harga minyak 60 dolar AS/barel. Besaran subsidi BBM dalam APBN-P tersebut sudah setara dengan 12,7 persen dari total belanja negara atau melonjak dari 5,3 persen dari yang ditetapkan dalam APBN.

Kenaikan harga minyak dunia memang tidak hanya berpengaruh pada sisi belanja negara tapi juga pada sisi pendapatan. Akan tetapi dengan semakin tingginya subsidi BBM tentunya akan mempengaruhi postur APBN. Padahal sesuai dengan desain awal, APBN akan memberikan porsi lebih besar untuk alokasi program kemiskinan dibandingkan dengan subsidi BBM yang selaras dengan visi pemerintah untuk menekan angka kemiskinan.

Kondisi harga minyak dunia yang bergerak naik tentunya berimbas pada keseimbangan tersebut karena nilai subsidi BBM membubung mengikuti gerak kenaikan harga minyak dunia. walaupun pada kenyataannya sebagian besar dari susbsidi BBM lebih dinikmati golongan masyarakat mampu dibandingkan golongan masyarakat miskin.

Hal ini jika dilihat dari laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengungkapkan bahwa kecenderungan penggunaan BBM bersubsidi oleh kelompok masyarakat mampu mencapai Rp107,84 triliun dalam APBN Perubahan 2008. Angka ini didasarkan hasil perhitungan Bappenas yang diolah dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2007.

Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan exercise Bappenas berdasar survei pola konsumsi BBM Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002 sebelumnya yang menyebutkan konsumsi BBM Rp103 triliun dinikmati orang mampu. Akibatnya terjadi penurunan jumlah konsumsi BBM bersubsidi masyarakat tidak mampu yaitu Rp.5,15 triliun. Survei ini makin menegaskan bahwa distribusi penggunaan subsidi BBM jauh lebih banyak dinikmati golongan masyarakat mampu.

Pemerintah menyadari bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM bukan berarti tanpa resiko. Hal itu tentu berpengaruh pada naiknya angka inflasi dan semakin besar beban masyarakat miskin. Untuk itu, pengurangan subsidi diimbangi dengan program pengurangan beban masyarakat miskin melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bappenas memproyeksikan jumlah penduduk miskin akan melonjak menjadi 42 juta jiwa pada 2009 atau sekitar 19% dari total populasi jika kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 30% tidak dibarengi dengan program kompensasi Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dengan adanya pembagian BLT tentu diharapkan dapat menahan lonjakan kemiskinan di masyarakat, sehingga bisa mendekati sasaran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 yaitu sekitar 10,0-11,0%. Pemberian BLT yang besarnya Rp100 ribu per bulan untuk masing-masing rumah tangga miskin (RTM) diharapkan mampu menahan anjloknya daya beli masyarakat, sehingga angka kemiskinan tidak melonjak seperti tahun 2006.

Mengutip penyataan Menko Kesra Aburizal Bakrie, BLT yang sedang dikerjakan merupakan salah satu jalan yang terbaik. Bila suatu negara mengalami krisis tentunya rakyat diberi bantuan. Jadi BLT ini merupakan hak, bukan kewajiban, itu artinya kalau dia mau, diambil, tapi kalau tidak mau, tidak diambil tidak apa-apa. Akan tetapi, tidak ada siapapun yang bisa memaksa untuk mengambil atau memaksa untuk tidak mengambil.

Sebagian kalangan dan beberapa kepala daerah menyatakan keberatan dan menganggap program BLT tidak efektif membantu masyarakat menghadapi dampak kenaikan bahan bakar minyak. Hal ini tentu harus dimaklumi karena mungkin mereka belum sepaham bahwa program ini hanya ditujukan untuk meningkatkan daya beli yang turun akibat kenaikan harga BBM.

Pemerintah tetap menjalankan program bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kepada masyarakat atas keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan mengevaluasi pelaksanaan BLT sebelumnya supaya kelemahan-kelemahan program tersebut tidak lagi terulang dalam pelaksanaan BLT tahun ini.

Program untuk mengatasi kemiskinan dan menekan dampak buruk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) melalui BLT tentunya bukan satu-satunya program pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Pemerintah tetap akan melaksanakan program pengentasan kemiskinan pada 2008 dan 2009 seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program beras untuk masyarakat miskin (raskin), Jaminan kesehatan untuk masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah untuk siwa miskin (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Kerdit Usaha Rakyat (KUR) serta program subsidi-subsidi lainnya.

Seluruh program yang ada dikelompokkan menjadi tiga Kluster yaitu, pertama, “di beri ikan” berupa program bantuan dan perlindungan sosial seperti BLT, Raskin senilai Rp.4,2 triliun, BOS untuk siswa miskin, Jamkesmas, dan bantuan sosial korban bencana, penyandang cacat dan lansia yang memang diberikan karena ada masyarakat atau golongan sangat miskin yang membutuhkan. Kluster kedua bersifat “diajari memancing atau kail” yang diwujudkan dalam bentuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di mana setiap kecamatan akan diberi dana bagi pemberdayaan masyarakat.

Program ini dalam realisasinya, mengambil peran aktif masyarakat untuk menentukan program apa yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Kelompok masyarakat dapat menentukan sendiri kegiatan pembangunan yang dipilih sesuai rambu-rambu program yang telah ditentukan, manajemen, dan pengambilan keputusan ditentukan di tingkat lokal. Program PNPM Mandiri mencakup 3.999 kecamatan, 36.417 desa pada tahun 2008 dengan anggaran sebesar Rp 3 miliar perkecamatan dengan disediakan anggaran Rp 13,2 triliun. Pada tahun 2009 akan ditingkatkan menjadi 5.720 kecamatan dan 73.000 desa.

Kluster ketiga, “diajari untuk punya pancing dan perahu sendiri” yang diwujudkan dengan pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini untuk membantu usaha mikro dan kecil yang selama ini merasa kesulitan dalam mengakses modal. Dengan kemudahan memperoleh kredit ditambah tanpa prasyarat agunan membuat program KUR sangat prospektif bagi kalangan usaha mikro dan kecil yang kesulitan mengembangkan usahanya akibat keterbatasan modal. Saat ini Kredit Usaha Rakyat (KUR) diarahkan untuk kredit di bawah 5 juta tanpa agunan dan telah tersalurkan Rp.5 triliun kepada 400 ribu nasabah. Tahun 2009 nanti alokasi dana KUR akan ditambah Rp.1 triliun.

Penutup

Pro dan kontra terhadap program BLT hendaknya tetap dikerangkai semangat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk itu, sangatlah dibutuhkan pikiran yang jernih bahwa usaha pemerintah dalam membantu rakyat miskin membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan dan harus disukseskan.

Bukankah kemiskinan hanya bisa dipecahkan jika terjadi kekompakan dan kesadaran bersama dari semua stakeholder baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk menanggulanginya secara terarah dan efektif.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi I Juni 2008

Tidak ada komentar: