Kamis, 07 Agustus 2008

Membangun Kemitraan Masyarakat, Membangun Manusia Indonesia

Konsep Pembangunan Manusia sebagai tujuan utama pembangunan merupakan sebuah paradigma baru. Paradigma tersebut menggunakan pendekatan Indeks Kualitas Hidup (physical quality life index) yang ditentukan melalui tiga parameter yaitu angka kematian bayi, angka harapan hidup waktu lahir, dan angka melek huruf. Selanjutnya parameter tersebut berkembang hingga muncul istilah baru yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Paradigma pembangunan manusia fokus utama pada pengembangan manusia (human growth), kemakmuran, keadilan dan keberlanjutan (sustainability).

Dalam berbagai forum seperti seminar atau diskusi, istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sering menjadi bahan perbincangan dan perdebatan terutama bila dikaitkan dengan kemiskinan dan kesenjangan baik antarindividu maupun antarkelompok. Hal itu tidak mengherankan karena IPM atau human development index (HDI) merupakan indikator yang muncul akibat adanya pergeseran paradigma pembangunan saat ini. IPM sendiri pertama kali termuat dalam Laporan Pembangunan Manusia UNDP tahun 1990.

Untuk Indonesia, istilah IPM mulai digunakan oleh BPS pada 1996 untuk melakukan perbandingan antarprovinsi pada 1990-1993. Meskipun pada awalnya hal itu mengundang perdebatan beberapa kalangan, namun indikator itu kini menjadi panduan dalam pembangunan daerah. Di Jawa Barat, misalnya, indikator itu dijadikan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Bahkan sesuai visi tahun 2010, Provinsi Jabar berupaya untuk mencapai IPM dengan nilai 80.

Memasuki tahun kedua semenjak dikampanyekannya paradigma baru pembangunan manusia—tahun pertama tahun 1996--, Indonesia justru mengalami kemunduran akibat krisis moneter pada 1997. Memang pemerintah merespon krisis secara cepat melalui kebijakan jaring pengaman sosial dan sekarang standar pembangunan manusia telah kembali ke level sebelum krisis. Meski demikian, di tingkat global Indonesia masih bertengger di jajaran negara yang indeks pembangunan manusia menengah - peringkat 110 dari 177 tahun 2005, jauh di balakang negara ASEAN lain seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kesenjangan mutu pembangunan manusia ini boleh jadi makin menjauh karena perkembangannya di Indonesia relatif lambat.

Di samping kesenjangan regional, juga terjadi kesenjangan domestik. Di Indonesia pemulihan krisis berlangsung tidak merata. Daerah yang berindeks pembangunan manusia (IPM) tinggi lebih cepat pulih dibanding yang rendah. Berdasarkan perhitungan terakhir yang dilakukan oleh BPS, pencapaian IPM terbaik 2004 masih didominasi oleh kota-kota besar, seperti Jakarta, Manado, Yogyakarta, Padang, dan Makassar.

Ketimpangan ini juga akan terlihat dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs). Meski Indonesia secara umum akan dapat memenuhi target MDG pada tahun 2015, namun kabupaten/kota yang miskin sangat mungkin gagal mencapai target. Merujuk pengalaman sebelumnya Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) Tahun 2001 menyimpulkan bahwa untuk mencapai target penyediaan air bersih sesuai MDG, Provinsi Bengkulu butuh waktu 148 tahun dan Kalimantan Barat butuh 124 tahun.

Selain kesenjangan antarwilayah, terlihat pula kesenjangan antarkelompok. Jauh sebelum krisis, angka kematian bayi di kelompok penduduk miskin tiga kali lebih tinggi dibandingkan di kelompok kaya. Sementara, 20 persen penduduk terkaya membelanjakan uang berobat delapan kali lebih banyak dibandingkan penduduk miskin. Kemiskinan memang merupakan inti persoalan kesenjangan. Meski jumlahnya lebih rendah dibanding ketika krisis, angka kemiskinan masih berkisar 16 persen, ditambah 30 persen populasi tergolong kelompok rentan yang sewaktu-waktu dapat jatuh miskin.

Ketimpangan jumlah belanja pemerintah dan masyarakat di sektor pendidikan dan kesehatan menciptakan kesenjangan yang signifikan di kedua sektor tersebut. Manfaat belanja pemerintah umumnya dirasakan meluas oleh semua kalangan, namun belanja masyarakat hanya mendatangkan manfaat bagi kelompok kaya. Situasi ini berbeda dengan Filipina dan Thailand, di mana jumlah belanja publik lebih tinggi dibanding belanja masyarakat. Pemerintah Indonesia juga mengalokasikan tidak terlalu besar untuk sektor keamanan fisik, yang antara lain menyebabkan petugas yang berwenang menjadi kurang profesional dan menimbulkan moral hazard. Pada gilirannya hal ini membebani masyarakat miskin yang jelas tidak mampu membayar jasa keamanan pribadi.

Melihat berbagai kesenjangan yang ditimbulkan akibat pembangunan, konsep kemitraan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan manusia menjadi sangat strategis. Bahkah salah satu Tujuan Pembangunan Millenium (TPM) adalah membangun kemitraan global untuk pembangunan, sebab dengan membangun kemitraan segala usaha yang dirintis bersama akan mudah terlaksana dan mudah tercapai.

Dalam LPMI 2004 melaporkan status negara-negara dalam upaya mencapai TPM dan membahas pembaruan-pembaruan nyata dalam kebijakan dan komitmen anggaran serta sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Lebih lanjut, diajukan suatu rencana aksi baru – yakni “Perjanjian Pembangunan Milenium” — guna mencapai TPM. Laporan ini terutama mengimbau agar dibentuk kemitraan antara negara-negara kaya dan negara miskin, di mana negara-negara yang miskin akan mengerahkan sumber-sumber daya dalam negeri mereka serta menjalankan tata pemerintahan yang baik demi pencapaian TPM, sementara negara-negara yang kaya akan meningkatkan bantuan mereka dan meringankan tekanan beban hutang

Membangun kemitraan diantara para pemangku kepentingan (stakeholder) merupakan platform utama untuk mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang adil, berkualitas dan berkelanjutan. Skema-skema kemitraan masyarakat dalam pembangunan manusia menjadi sangat penting untuk diterapkan karena skema-skema kemitraan masyarakat adalah pemain kunci dalam menentukan arah pembangunan manusia yang lebih spesifik. Bahkan di berbagai daerah skema kemitraan dalam pembangunan telah menjadi “role-model” pembangunan manusia Indonesia. Konsep kemitraan masyarakat merupakan konsep yang dilaksanakan oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat. Melalui skema ini diharapkan dibangun kemitraan yang efektif antara pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, organisasi keagamaan, lemabaga adat, dan segenap unsur masyarakat madani .

Melalui implementasi skema kemitraan masyarakat yang muncul sebagai inovasi-inovasi lokal dalam pembangunan manusia, maka semangat kerukunan antarkelompok dan gotong-royong yang telah menjadi aset utama bangsa Indonesia dibangun dan diperkuat kembali serta mendorong semangat untuk berbuat kebajikan dan hal yang konstruktif di masyarakat. Melalui skema-skema kemitraan ini, maka masyarakat mempunyai sarana untuk mempererat hubungan sosial budaya menjadi masyarakat dan bangsa yang saling menghormati serta mendukung satu dengan yang lain. Ini sesungguhnya yang disebut Kontrak Sosial baru masyarakat (Citizen Charter) untuk mewujudkan pembanguna manusia Indonesia ke depan.

Di muat di Majalah KOMITE edisi Juni 2006

Tidak ada komentar: