Selasa, 12 Agustus 2008

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Keadilan Gender


Dalam Laporan Pembangunan Manusia Nasional Indonesia 2004, United Nation Development Programme (UNDP) memperkirakan posisi perempuan Indonesia dengan memakai GDI (Gender-related Development Index) berada di urutan ke-91 dari 144 negara yang telah dihitung GDI-nya. Pengukuran ini membedakan antara laki-laki dan perempuan pada bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Angka GDI Indonesia adalah 59,2 dan menunjukkan bahwa tingkat melek huruf perempuan lebih rendah, lebih sedikit waktu mereka untuk sekolah dan memperoleh bagian pendapatan. Pendapatan hanya 38% untuk perempuan dan 62% diterima laki-laki.

Padahal jumlah perempuan di Indonesia sekitar 104,6 juta orang atau lebih dari separoh total jumlah penduduk yang ada (208,2 juta jiwa). Akan tetapi kualitas hidup perempuan masih tertinggal dari kaum laki-laki. Masih sedikit peluang dan akses mereka dalam berpartisipasi dalam pembangunan dan akibatnya jumlah perempuan yang menikmati hasil pembangunan juga terbatas.

Oleh karena itu, tanpa usaha penghapusan dikriminasi gender berbagai langkah dan upaya pengentasan kemiskinan tidak akan berjalan optimal. Program pengentasan kemiskinan seharusnya memuat strategi dan langkah-langkah yang secara signifikan mengurangi jumlah perempuan miskin. Kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi merupakan hal yang mutlak bagi terealisasinya Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2015. Untuk itu setiap pemegang kepentingan harus berkomitmen membebaskan perempuan dari diskriminasi, kekerasan dan buruknya kondisi kesehatan yang dihadapi kaum perempuan setiap harinya. Ketidaksetaraan merupakan inefisiensi secara ekonomi, selain juga pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan membahayakan kesehatan.

Upaya penghapusan kemiskinan tidak akan berhasil dengan maksimal apabila perempuan belum bisa menikmati hak-hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik secara penuh. Untuk itu, diperlukan tiga intervensi strategis, yaitu pendidikan, kesehatan reproduksi dan kesempatan ekonomi bagi perempuan serta yang tak kalah pentingnya adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Tiga Intervensi Strategis

Intervensi strategis pertama adalah persamaan dan kesataraan di bidang pendidikan. Perlu disadari meskipun kesenjangan gender dalam pendidikan dasar antara anak laki-laki dan anak perempuan menyempit sejak tahun 1970, tetapi penyempitan kesenjangan itu berjalan lambat dan tidak merata, terutama di negara-negara paling miskin. Padahal, pendidikan dasar merupakan modal untuk mengembangkan kemampuan dalam mengembangkan keterampilan yang diperlukan di dalam aktivitas ekonomi yang semakin bersifat intensif-pengetahuan.

Dalam konstitusi Indonesia, kesetaraan dan dan keadilan gender terungkap dengan menjamin hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Pasal 31 ayat 1 uud 1945 mengamanatkan bahwa “Semua warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Hak untuk mendapatkan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin. Seperti yang tercantum pada Dokumnen Deklarasi Dakar tentang pendidikan yang menyatakan:

“Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan menjelang 2015 dengan suatu fokus pada kepastian akses anak perempuan tehadap pendidikan dasar yang bermutu (depdiknas,2005b:5).

Dalam penyediaan layanan akses pendidikan dasar, Indonesia termasuk negara yang cukup baik. Tingkat partisipasi pendidikan dasar mencapai lebih dari 97 % baik untuk laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi pada jenjang pendidikan selanjutnya, terjadi kesulitan perempuan dalam mengakses pendidikan semakin besar. Data di Balitbang Depdiknas mengungkapkan bahwa pada jenjang SLTP hanya 71,4% , SLTA 72,7 %, dan PT 44,7 %.

Sedangkan menurut Susenas 2003 perbedaan angka buta huruf antara perempuan dan laki-laki juga masih tinggi. Sebagai contoh, pada kelompok umur 15-24 tahun di perkotaan jumlah perempuan buta huruf 2,44 % sedangkan laki-laki hanya 0,54 %. Pada tahun 2005, kesenjangan gender semakin terlihat dari angka buta huruf perempuan umur 15 tahun ke atas (11 persen) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (5 persen). Selain itu, jenjang pendidikan yang ditamatkan perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki.

Intervensi strategis kedua adalah akses kesehatan reproduksi yang berkualitas. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh kehamilan dan persalinan masih sangat tinggi. Intervensi strategis terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan juga perlu dilakukan karena kesehatan reproduksi merupakan penyebab utama dari kematian perempuan usia 15-44 tahun. Walaupun kasus kesehatan reproduksi dapat dicegah, namun 99 persen kematian itu terjadi di negara berkembang.

Akses perempuan terhadap pelayanan reproduksi yang bermutu masih belum sepenuhnya menjadi prioritas pembangunan selama ini. Akibatnya, angka kematian ibu ketika melahirkan mesih tinggi di Indonesia. Menurut data BPS, angka kematian ibu ketika melahirkan sebesar 307/100.000 kelahiran. Bahkan selama tiga dekade sebanyak 20.000 perempuan meninggal karena melahirkan setiap tahunnya. Akan tetapi, alokasi dana kesehatan selama ini masih cenderung untuk mensubsidi rumah sakit daripada pelayanan kesehatan dasar termasuk kesehatan reproduksi.

Pada tahun 2005, hanya sekitar 77 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis dan pada tahun 2006 diperkirakan meningkat menjadi 82 persen. Menurut Women of Our World 2005 yang diterbitkan oleh Population Reference Bureau (2005), AKI di Indonesia yang mencapai 230 kematian per 100.000 kelahiran hidup, hampir dua kali lipat lebih tinggi dari AKI di Vietnam (130), lima kali lipat lebih tinggi dari AKI di Malaysia(41) dan Thailand (44), bahkan tujuh kali lipat lebih tinggi dari AKI di Singapura (30).

Intervensi strategis ketiga, kesempatan ekonomi. Pendekatan makro ekonomi dan program pembangunan yang dilakukan sebagian besar masih mengabaikan kontribusi ekonomi perempuan. Padahal, perempuan di negara berkembang pedesaan bertanggung jawab atas 60-80 persen produksi bahan makanan.

Dalam kesempatan ekonomi, akses perempuan terhadap pasar tenaga kerja menunjukkan kecenderungan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Keterbatasan perempuan dalam mengakses pasar tenaga kerja berlaku untuk semua tingkatan.

Sumbangan perempuan terhadap perekonomian Indonesia dapat dilihat melalui pola tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang merupakan rasio antara jumlah angkatan kerja terhadap jumlah tenaga kerja.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya 50,6 persen. Hal itu jauh lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 86,0 persen. Sesuai data BPS/Sakernas 2006, laki-laki yang bekerja 61.864.327 orang sedangkan jumlah perempuan bekerja hanya 33.312.775 orang.

Rendahnya TPAK laki-laki pada golongan umur 15-19 tahun disebabkan karena usia tersebut merupakan usia sekolah sehingga lebih banyak laki-laki yang masih menyelesaikan jenjang pendidikan. Peningkatan TPAK laki-laki golongan usia 20-24 tahun diperkirakan karena telah selesainya masa pendidikan sekolah menengah ditambah dengan lulusan perguruan tinggi baik diploma maupun universitas.

Dengan demikian peningkatan investasi terhadap perempuan khususnya dalam hal pendidikan, kesempatan usaha, HAM dan kesehatan reproduksi mutlak diprioritaskan. Setiap kebijakan pembangunan dan program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan haruslah mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal itu terlaksana, cita-cita membebaskan jutaan orang dari kemiskinan akan segera terlaksana.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi Februari 2007

Tidak ada komentar: