Selasa, 12 Agustus 2008

CSR Harus Menjadi Core Bisnis Yang Pro-Poor

Saat ini 4 miliar orang miskin tersebar diseluruh dunia, 39,05 juta jiwa ada di Indonesia. Orang-orang miskin tersebut menunggu uluran tangan orang-orang kaya diseluruh dunia. Saking banyaknya orang miskin sehingga lebih dari 50 tahun, Bank Dunia, negara donor, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil belum berhail mengatasi kemiskinan. Mengapa? Karena si miskin dianggap tak berdaya.

Menarik untuk disimak pernyataan Wakil Presiden R.I. pada waktu Pembukaan Pameran CSR di Jakarta Convention Center pada bulan April 2007 yang lalu. Dikatakannya bahwa CSR adalah harus menjadi keharusan perusahaan bilaman perusahaan ini menginginkan usahanya akan berkelanjutan. Dukungan utama pada perusahaan untuk berkembang adalah dari masyarakat. Salah bilamana perusahaan tidak memberikan porsi yang cukup pada pengembangan kemampuan masyarakat. Perusahaan harus menanamkan investasi pada masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya, tingkat kesehatan dan pendidikannya. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan maka meningkat pula cara hidup dan juga peluang usaha yang dijalankan masyarakat.

Tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat juga akan meningkat dan akhirnya masyarakat akan membeli produk perusahaan dengan lebih besar. Ini semua akan kembali pada keuntungan dan dukungan bagi keberlanjutan usaha dan perusahaan yang telah menanamkan investasinya pada pengembangan kemampuan masyarakat. Mengapa perusahaan-perusahaan besar di dunia tetap bertahan sampai dengan puluhan dan bahkan ratusan tahun? Ini dikarenakan mereka banyak melakukan investasi di masyarakat yang mendorong peningkatan kualitas kehidupan dan usaha masyarakat yang akhirnya mampu menyerap produk perusahaan tersebut.

Dalam bukunya C.K. Prahalad hendak mengemukakan pemikiran alternatif yang menyangkut dua hal pokok. Pertama, keterlibatan swasta, dengan sumber daya dan jaringan global yang dimilikinya, sangat penting dalam upaya pengentasan masyarakat miskin. Keterlibatan ini murni bisnis, bukan dalam konteks filantropi, charity atau karikatif. Sederhananya, masyarakat miskin dijadikan sebagai konsumen yang memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Kedua, konsumen yang termasuk dalam golongan ‘bottom of the pyramid’ (BOP) merupakan potensi pasar yang sangat besar dan dalam jangka panjang akan memegang posisi kunci bagi pertumbuhan sektor swasta.

Dijadikannya orang miskin sebagai konsumen bukan tanpa alasan. Sembilan negara Cina, India, Rusia, Brasil, Indonesia, Meksiko, Turki, Thailand dan Afrika Selatan yang secara kolektif memiliki populasi penduduk sekitar 3 miliar jiwa, mewakili ekonomi senilai US$ 12,5 triliun, lebih besar dari gabungan ekonomi Jepang, Jerman, Prancis, Inggris dan Italia. Potensi keuntungan pasar yang luar biasa.

Namun, keuntungan yang paling penting adalah dihargainya masyarakat miskin sebagai pelaku ekonomi, dan bukan sekadar penerima amal. Bahwa pengusaha mendapatkan keuntungan dengan memenuhi kebutuhan sang miskin dengan menyediakankan barang-barang yang berkualitas tapi dapat dijangkau oleh kaum miskin sehingga dapat memberdayakan si miskin secara berkelanjutan. Inilah yang disebut membangun core bisnis yang pro-poor.

Sebagai contoh, suatu produk yang berkualitas tinggi yang asalnya hanya dapat dibeli oleh golongan yang mampu namun dalam skala minoritas, diubah ke dalam bentuk dan kemasan yang dapat dibeli oleh masyarakat miskin atau golongan yang tidak mampu, misalnya dengan mengurangi ongkos pengepakan dan pengemasan dan membuat menjadi produk kemasan yang mampu dibeli masyarakat miskin tersebut. Dengan jumlah masyarakat miskin yang mayoritas, maka produk tersebut dapat diserap dalam pasar masyarakat miskin yang besar sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan hanya berkutat pada pasar golongan yang mampu saja.

Kebijakan terhadap CSR

Sampai kini memang belum ada kebijakan yang lebih jelas dari pemerintah terhadap CSR ini. Ini dikarenakan pemerintah menganggap bahwa CSR ini adalah murni kebijakan yang ditentukan oleh perusahaan (corporate policy). Pemerintah lebih mengambil posisi sebagai lembaga yang mendorong perusahaan-perusahaan menjalankan CSR sebagai bagian dari investasi perusahaan pada masyarakat dan mendorong pula agar CSR adalah bagian dari Core-business perusahaan tersebut.

Bilamana dalam menjalankan CSR tersebut, perusahaan memerlukan dukungan dari pemerintah, maka pemerintah siap untuk mendukungnya dalam berbagai upaya diantaranya; pertama, menyediakan informasi agar CSR yang dijalankan tersebut mengena pada sasaran. Misalnya, penyediaan data dan informasi mengenai kelompok masyarakat yang akan dijadikan sasaran dalam CSR. Kedua, pemerintah akan mendukung pelaksanaan CSR tersebut dengan menyediakan yang dinamakan investasi publik pendukung atau ”complementary government investments”.

Investasi publik pendukung ini dapat berupa dukungan peningkatan kemampuan atau pelatihan bagi aparat pemerintah yang nantinya akan bekerja sama dan bermitra dengan perusahaan tersebut dalam pelaksanaan CSR, peningkatan kemampuan bagi masyarakat yang dijadikan kelompok sasaran, serta juga dukungan infrastruktur dan sarana publik yang dapat mendukung pelaksanaan CSR tersebut. Misalnya, bilamana ada perusahaan ingin membangun puskesmas dan pusat kesehatan masyarakat di daerah yang sulit dijangkau, maka pemerintah dapat mendukungnya dengan menyediakan infrastruktur jalan untuk menuju lokasi terkait sehingga mengurangi beban-beban yang harus ditanggung oleh perusahaan tersebut.

Pada kenyataannya, banyak perusahaan yang ingin melaksanakan CSR belum-belum sudah meminta banyak keringanan. Meminta pengurangan pajak bagi pengeluaran untuk CSR, meminta pembebasan bea masuk bagi barang-barang yang diimport untuk CSR, meminta ini dan itu tanpa memiliki agenda dan rencana kerja yang jelas tentang pelaksanaan CSR-nya. Sudah barang tentu, pemerintah akan sulit memenuhinya karena pemerintah tidak ingin dukungan yang diberikan untuk perusahaan yang menjalankan CSR ini disalah gunakan sebagaimana yang sering terjadi di masa-masa yang lalu.

Dipihak pemerintah, pemahaman CSR ini masih belum seragam. Ada yang masih menginginkan mengatur CSR secara ketat bahkan mengatur secara rinci dan ada juga yang menyatakan CSR tidak perlu diatur samasekali. Pemahaman yang sama harus diupayakan di kalangan birokrasi jangan sampai konsep CSR dan upaya yang baik ini menjadi mentah dan malah dibenci masyarakat dikarenakan menjadi lahan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan.

Oleh karena itu, pelaksanaan CSR ini memerlukan kejujuran, niat baik dan transparansi dari semua pihak baik perusahaan, pemerintah, lembaga-lembaga non pemerintah terkait dan masyarakat. Jangan sampai CSR ini terkotori oleh pihak manapun yang ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar, yang mengambil kesempatan dan yang ingin lebih banyak meraup keuntungan jangka pendek sesaat. Namanya saja mengandung kata tanggung jawab (responsibility) jadi memang bilamana ingin berhasil, semua pihak harus bertanggung jawab.

Sebaiknya, CSR ini adalah murni diatur oleh perusahaan sebagai bentuk pertanggung jawaban perusahaan terhadap masyarakat yang selama ini mendukung pengembangan perusahaannnya. Pemerintah mendorong dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan CSR. Bila CSR terlalu diatur oleh pemerintah, maka CSR sudah kehilangan makna kebertanggung jawabannya yang berasal dari keikhlasan dan kerelaan serta kesadaran perusahaan. Biar saja masyarakat yang akan menentukan dan ’menetapkan’ mana perusahaan yang menjalankan CSR yang baik dan mana yang tidak baik.

Pemerintah juga perlu memfasilitasi masyarakat dalam kaitan dengan CSR ini. Termasuk untuk menginformasikan kepada masyarakat perusahaan-perusahaan mana yang mempunyai karya nyata CSR yang baik dan memberikan manfaat yang besar sehingga masyarakat perlu mendukung perusahaan ini dan mana yang tidak. Masyarakat akan secara cerdas memilih perusahaan-perusahaan mana yang mereka dukung karena perusahaan tersebut melaksanakan CSR dengan baik, misalnya terus menerus membeli produknya. Juga masyarakat akan secara cerdas untuk tidak mendukung perusahaan yang tidak melaksanakan samasekali CSR dan hanya meraup keuntungan untuk perusahaan saja. Jadi dalam CSR, masyarakat juga bertanggung jawab mendukung perusahaan yang baik dalam menjalankan CSR ini.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi September 2007

Tidak ada komentar: