Kamis, 07 Agustus 2008

Konsep Kemitraan Untuk Mewujudkan Rasa Aman

Albert Einstein pernah berujar : " Peace can not be kept by force. It can be achived only by understanding" Kedamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Ia hanya dapat dicapai dengan pengertian. Ada juga syair atau pepatah dari negeri asing " Guns don't kill people, people do" Senjata tidak membunuh orang, orang yang membunuh orang.

Ketika negeri kita carut marut serta dilanda kecemasan dan ketakutan akibat berbagai bencana alam dan ancaman berbagai penyakit menular, disintegrasi bangsa, konflik horizontal, belum lagi perasaan was-was akan ancaman, gangu terhadap hak-hak dasar kita sebagai warga Negara maka kebutuah rasa aman semakin dirindukan oleh warga Negara.

Rasa aman tidak muncul sendirinya, rasa aman harus diusahakan sebab rasa aman merupakan hak dasar mansuia yang harus dipenuhi. Menurut Abraham Maslow rasa aman merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling dasar. Dalam kamus besar Indonesia rasa aman diartikan sebagai bebas dari bahaya; bebas dari gangguan; tidak mengandung resiko; tidak merasa takut atau khawatir.

Mengacu pada pengertian sebelumnya bahwa yang menentukan aman atau tidak adalah perasaan dari individu dan masyarakat. Jadi titik tekan dari terciptanya rasa aman terletak pada masyarakat yang terdiri dari individu-individu.

Kalau kita renungkan kembali ucapan Einstein seakan kekuatan tentara, polisi atau senjata tidak ada artinya untuk mewujudkan rasa aman, tapi yang lebih ditekankan adalah individu yang tergabung dalam masyarakat. Disinilah masyarakat menjadi kata kunci untuk mewujudkan rasa aman.

Dalam paradigma baru pembangunan manusia Indonesia, konsep kemitraan dalam masyarakat menjadi inti pembangunan. Dalam Kemitraan tidak lagi menempatkan masyarakat dalam sub-ordinasi Negara, atau corporasi tapi menjadi patner Negara dalam membangun.

Khusus penciptaan rasa aman, peran masyarakat lebih ditekan pada upaya-upaya antisipasi atau bersifat persuasive. Peran tersebut diterjemahkan dalam penciptaan kondisi saling pengertian dalam masyarakat yang sangat plural baik suku, etnis, dan agama.

Peran lain yang diambil masyrakat dalam menciptakan rasa aman adalah membangun dialog dengan semua unsur masyarakat untuk mengenali dan membangun impian bersama, cita-cita, harapan, aspirasi terhadap pembangunan manusia, khususnya tentang penciptaan rasa aman.

Kemitraan dalam masyarakat juga mengharuskan memilih impian dan harapan bersama yang paling prioritas, yaitu yang mendesak, penting dan perlu melalui upaya membangun kesepakatan di masyarakat (community consensus building). Keuntungan lain dalam model kemitraan masyarakat adalah teridentifikasi dan terinventarisasi masalah, kendala dan tantangan pembangunan manusia di “kawasan” atau di “kelompok sosial sasaran”. Identifikasi kekuatan dan kemampuan sumberdaya masyarakat: sumberdaya manusia, sumber daya kultural, sumberdaya alam, sumberdaya sosial, sumber daya binaan, dll, serta identifikasi dukungan eksternal yang dapat dilibatkan .

Model Kemitraan

Dalam konsep kemitraan masyarakat untuk mewujudkan rasa aman, kepolisian memperkenalkan model Community Polis (CP). Dalam model itu polisi bersama masyarakat berpartisipasi aktif mengamankan lingkungan serta menjaga ketertiban sipil. Masyarakat bukan lagi sebagai objek yang harus dilindungi oleh polisi, melainkan terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program penanggulangan kejahatan.

Pendek kata, melalui model CP, yang dikedepankan adalah perubahan paradigma model polisi. Yaitu, perubahan dari masyarakat sebagai objek, menjadi masyarakat sebagai mitra. Dari model sentralistis menjadi desentralistis. Dari polisi yang paling tahu, mampu, dan menentukan, menjadi model polisi yang bersedia duduk satu meja dengan masyarakat untuk sharing, mendengarkan, dan memberikan masukan.

Bahkan, mereka tak lagi merasa segan melibatkan diri dan berbaur dengan berbagai kalangan masyarakat. Mereka menjadi polisi yang bijak dalam melindungi, mengamankan, dan mengayomi yang jauh dari keangkuhan dan tidak menggunakan cara kasar. Mereka juga mampu menanggapi berbagai keluhan masyarakat, sekecil apapun, tanpa penilaian negatif, tetapi penuh penghargaan. Pimpinan dan seluruh jajaran di kepolisian sektor bukan lagi sebagai petugas negara, melainkan sesama warga yang mempunyai kepedulian bersama untuk penanganan keamanan.

Salah satu contoh urusan kecil yang tak segan-segan dilakukan, misalnya, ketika seorang polisi bersedia mengantar seorang ibu yang pulang kemalaman. Demikian juga sebaliknya, masyarakat bersedia membantu pengamanan yang seharusnya dilakukan oleh polisi, tidak serta-merta menyerahkan urusan itu kepadanya. Sebab, tak jarang kepercayaan mengemuka memang bermula dari hal-hal yang kecil dan sederhana.

Masyarakat juga kian kooperatif dalam membantu tugas polisi, seperti bersedia menjadi saksi atas tindakan kejahatan atau memberikan laporan ketika menjadi korban. Para personel polisi pun mesti senantiasa berupaya membersihkan diri dari berbagai tindakan yang akan merusak citranya. Yaitu polisi yang mampu menunjukkan kerja nyata dan bukan hanya janji. Tentu, secara perlahan bangunan kepercayaan di antara keduanya akan berdiri kokoh.

Dalam uji coba penerapan model CP di beberapa wilayah yang tergolong rawan gangguan krimilitas, terbukti bagaimana gangguan keamanan mulai menurun dan masyarakat kian aktif berhubungan dengan polisi, tanpa curiga. Singkat kata, kendala psikologis dan tersumbatnya komunikasi antara masyarakat dan polisi dapat diluruhkan.

Jika kemajuan yang bersifat kualitatif dalam bentuk makin eratnya hubungan antara masyarakat dengan polisi ini dapat digapai, agaknya minimnya ruang gerak yang aman untuk beraktivitas masyarakat tak bakal dikeluhkan lagi.

Model kemitraan masyarakat dalam mewujudkan rasa aman yang diperkenalkan kepolisian kiranya tidak jauh beda dengan apa yang menjadi tujuan pembangunan manusia Indonesia.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi Agustus 2006

Tidak ada komentar: