Selasa, 12 Agustus 2008

Kemitraan Untuk MDG's

Millennium Development Goals atau MDGs, yang disepakati para anggota PBB tujuh tahun lalu dalam sebuah KTT global yang kemudian melahirkan Millennium Declaration, adalah suatu inisiatif global untuk mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. MDGs memiliki delapan tujuan (goals) dan 18 target yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju.

Upaya masyarakat internasional untuk mencapai MDGs pada tahun 2015 menyegarkan kembali gagasan jebakan kemiskinan (poverty trap), sebuah ide yang populer pada tahun 1950-an. Pada masa kini gagasan ini terutama dikembangkan oleh Jeffrey Sachs, yang adalah penasihat khusus Sekjen PBB Kofi Annan. Ide itu menyatakan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan kemiskinan, karena itu membutuhkan dorongan yang kuat (big push) dalam wujud bantuan luar negeri (aid) dan investasi untuk dapat lepas landas (take-off) dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapitanya dan tingkat kehidupan yang lebih baik.

Banyak yang percaya, tetapi banyak juga yang ragu akan efektivitas MDGs dan bahwa MDGs akan berhasil pada waktunya. Sejumlah fakta menguatkan keraguan itu. Seminggu sebelum berlangsung perhelatan besar di PBB tersebut, UNDP merilis 2005 Human Development Report: International Cooperation at a Crossroad. Laporan tersebut menyatakan walaupun terdapat sejumlah kemajuan yang substansial yang terkait dengan pencapaian target MDGs secara global, ada banyak negara yang justru mengalami keadaan yang lebih buruk daripada waktu sebelum target MDGs disepakati.

Untuk Indonesia sendiri, dalam laporan "A Future Within Reach" maupun laporan pencapaian MDGs Asia-Pasifik tahun 2006 menempatkan Indonesia dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Indonesia memperoleh skor negatif, baik dalam indeks kemajuan maupun dalam status terakhirnya. Dari 23 indikator dalam tujuh sasaran MDGs, enam diantaranya masuk ke dalam kriteria mundur yaitu, garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbon dioksida (CO2), air bersih di perkotaan dan sanitasi di pedesaan.

Kemunduruan pencapaian MDGs tersebut tentunya memiliki beberapa alasan atau sebab yang secara signifikan mampu mempengaruhi pencapaian MDGs di Indonesia salah satunya adalah naiknya harga BBM, sering terjadinya berbagai bencana di Indonesia dan naiknya harga beras. Kemudian masing-masing daerah di Indonesia juga memiliki kompleksitas persoalan yang berbeda. Di NTT misalnya, belum optimalnya program-program pendidikan, kesehatan karena pengaruh lingkungan hidupnya yang sudah rusak dan kering. Namun persoalaan yang sangat berpengaruh dalam pencapain MDGs adalah belum optimalnya pengembangan kemitraan dalam pencapaian MDGs.

Tanggungjawab pencapaian MDGs di Indonesia porsi terbesar ada ditangan pemerintah namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tanpa dibarengi oleh kemitraan masyarakat madani ditingkat local akan sulit diwujudkan. Untuk itu, semenjak tahun 2003 melalui kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesra pemerintah telah melaksanakan langka-langkah strategis dan sistematis dalam upaya mendorong semua pihak seperti departemen, lembaga non-departemen, pemetrintah pusat, pemerintah daerah, LSM, BUMN, kalangan swasta, Ormas maupun Ornop untuk ikut berpastisipasi dalam agenda pencapaian MDGs.

Strategi pencapaian MDGs pada 2015 tentunya juga harus disertai akselerasinya, bagi Indonesia menjadikan dokumen MDGs sebagai salah satu pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan suatu upaya akselerasi dalam upaya untuk kemajuan yang signifikan. Hal tersebut kemudian melahirkan paradigma baru, yaitu perubahan pandekatan dalam pembangunan. Dalam paradigma tersebut tidak lagi menggunakan pendekatan sektoral tapi pendekatan ownership dan partnership.

Akselerasi yang lainnya adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam pencapaian agenda pembangunan millennium. Langkah tersebut dikongkritkan dengan mendorong masyarakat ditingkat lokal untuk bisa mengembangkan inovasi-inovasi lokal, mendorong terjadi prakarsa-prakarsa itu pembangunan di tingkat local. Kemudian untuk kelompok swasta juga didorong untuk tidak lepas dari tanggung jawab dalam pencapain MDGs.

Untuk kemitraan dengan swasta, dimana pemerintah mengembangkan satu model kemitraan dan pemerintah bisa memberikan dukungan model tersebut dinamakan komplementeri government investment. Misalnya, ada satu tempat di Lahat, Sumatera Utara salah satu perusahaan tambangnya ingin mengembangkan pelayanan kesehatan terpadu tapi membutuhkan jalan sepanjang 14 km dan tugas ini pemerintahlah yang harus bisa merealisasikan penyediaan jalan tersebut.

Akselerasi selanjutnya adalah mendorong seluruh kementerian, lembaga, pemerintah daerah.LSM, Ormas maupun Ornop mempunyai visi yang sama. Apabila dikalangan birokrasi mempunyai visi atau mindset yang sama, mindset pembangunan yang sama maka pencapaian MDGs akan lebih mudahm, walaupun memang masih ada perbedaan instrument dan peraturan.

Akselarsi berikutnya adalah adanya beberapa penajaman dalam pencapaian MDG’s memang tidak berarti kita wujudkan tujuan yang satu yang lain tidak, semuanya bisa masuk karena spectrum permasalahan MDG’s sangat luas. Misalnya untuk tujuan pertama yaitu pengurangan kemiskinan dan kelaparan kita prioritaskan peningkatan gizi buruk di daerah-daerah yang rawan pangan. Sebab sekarang ini ada 5 juta balita yang dikategorikan gizi buruk bahkan kekurangan gizi.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa indikator kunci keberhasilan dalam pencapaian MDGs adalah pathnership atau kamitraan dan peran pemerintah dalam kemitraan tersebut adalah dengan memberikan informasi seakurat mungkin kemudian memberikan rating mana yang harus ditangani swasta, pemerintah daerah maupun masyarakat madani lainnya, sehingga pencapaian MDGs di Indonesia pada 2015 sesuai target yang telah disepakati bersama 189 negara lainnya.

Jadi, dengan kerjasama dan komitmen yang kuat dari setiap pemangku kepentingan akan menjadi faktor pemercepat tercapainya target sesuai yang diamanahkan dalam Millennium Declaration.

Di Muat di Majalah KOMITE Edisi Maret 2007

1 komentar:

sinangnaga mengatakan...

Rasanya agak pesimistis jika kita bicara kemitraan di Indonesia karena jangankan dengan swasta di instansi pemeritah masih kental egoisme sektoralnya apalagi sekarang ditambah otonomi daerah ( raja-raja kecil di kab/kota ).
Sangat mendesak disamakan persepsi dulu dan ada pimpinan Nasional yang kredibel, dipatuhi oleh jajarannya sampai ketingkat raja-raja kecil tadi