Kamis, 07 Agustus 2008

“Perlunya Pro-Poor dan Pro-Human Development Budgeting

Persoalan kemiskinan masih menjadi masalah utama pembangunan di Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, walaupun sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan tergolong luar biasa. Beragam instrumen makro telah diimplementasikan dan upaya memacu kembali pertumbuhan ekonomi, misalnya, dengan mendorong institusi pasar agar lebih dinamis terlihat menunjukkan kinerja makro yang cukup positif. Indikator ekonomi makro juga semakin membaik yang ditandai dengan stabilnya nilai rupiah, rendahnya inflasi, dan sebagainya.

Program-program yang bersifat langsung mulai dari program Jaring Pengaman Sosial, dana bergulir, dana pembangunan desa, dan sebagainya terus digulirkan. Banyak lagi program pembangunan dan bantuan lainnya, termasuk yang bernuansa charity seperti BOS, raskin dan terakhir bantuan langsung tunai.

Namun, bagaimana hasilnya ? Penduduk miskin, seperti yang telah banyak diulas oleh media massa, malah cenderung bertambah. Kemiskinan di Indonesia merupakan mata rantai yang sulit diputuskan. Data kemiskinan berdasarkan Susenas BPS yang dilakukan Maret 2006 mencatat jumlah penduduk miskin naik 3,95 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan bila dibandingkan Februari 2005. Dari jumlah tersebut, persentase penduduk miskin mayoritas tersebar di pedesaan berjumlah 63,41 persen dan sisanya tersebar di wilayah perkotaan.

Sedangkan, jumlah angkatan kerja pada Februari 2006 mencapai 106,3 juta orang, bertambah 500 ribu orang dibandingkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2005 sebesar 105,8 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2006 sebesar 95,2 juta orang, bertambah 300 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2005, tetapi bertambah 1,2 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan Nopember 2005.

Dengan begitu tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,4 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan keadaan pada Februari 2005 (10,3%), tetapi jauh lebih rendah dibandingkan keadaan pada Nopember 2005 (11,2%).

Kondisi tersebut di perparah dengan masih terbatasnya akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur, permodalan/ kredit dan informasi bagi masyarakat miskin. Lalu, masih luasnya kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan : sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin.

Kemiskinan memang sebuah ironi di negara yang sangat melimpah dengan kekayaan sumber daya alam ini. Di negeri dengan kekayaan alam yang banyak tetapi tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Rakyat masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi, soal kesehatan dan pendidikan, orang miskin di ranah ini selalu terabaikan. Sehingga kemiskinan seolah-seolah menjadi riwayat 'abadi' bagi rakyat kecil.

Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengurangan penganggurangan, diperlukan sinkronisasi antara Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) dan Strategi Penanggulangan Kemisikinan Daerah (SPKD). Beberapa waktu lalu Kantor Menko Kesra telah mengundang beberapa Gubernur untuk mempresentasikan masing-masing SPKDnya. Diantaranya adalah paparan Gubernur Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, dan DKI Jakarta. Kegiatan tersebut diarahkan untuk menjelaskan tentang upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh masing-masing propinsi. Termasuk untuk mengetahui sejauh mana kepedulian pemerintah daerah terhadap upaya penanggulangan kemiskinan yang di wujudkan melalui proporsi APBD.

Kinerja PK

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar jumlah kemiskinan terus berkurang, namun bukan tanpa kendala. Persoalan paling utama dalam penanggulangan kemiskinan adalah persoalan koordinasi yang masih lemah terutama dalam hal pendataan, pendanaan dan kelembagaan.

Selain itu, masih lemahnya koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan diantara instansi pemerintah pusat dan daerah ditenggarai merupakan kelemahan yang sangat vital. Masalah juga terdapat pada lemahnya integrasi program pada tahap perencanaan, lemahnya sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, hingga lemahnya sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan.

Hal lain yang masih menjadi kendala adalah masih belum optimalnya kelembagaan di pemerintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.

Upaya-upaya penanggulan kemiskinan terus dilaksanakan pemerintah, bahkan pada tanggal 7 September 2006 diselenggarakan Sidang Kabinet untuk membahas percepatan penanggulangan kemisikinan dan pengurangan pengangguran.

Dalam sidang tersebut diusulkan tiga agenda besar untuk percepatan agenda penanggulangan kemiskinan dan Penciptaan Kesempatan Kerja (15 jt lap. Kerja) melalui: Pertama, Konsolidasi program-program penanggulangan kemiskinan ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Kedua, Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Ketiga, Pembangunan manusia Indonesia melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, pendidikan, kesehatan dan rasa aman. PNPM tersebut dilaksanakan dengan memperluas pola-pola pemberdayaan masyarakat dan penciptaan kesempatan kerja melalui program padat karya.

Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 pemerintah menargetkan berkurangnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009. dan berkurangnya tingkat pengangguran menjadi 5,1 % dari total angkatan kerja tahun 2009. Namun demikian upaya-upaya pengurangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah pusat menjadi tidak berarti apabila peran serta pemerintah daerah diabaikan.

Peran Daerah

Sejalan dengan roda reformasi yang menghendaki berubahnya sistem pemerintahan, dari era sentralisai menjadi desentralisasi peran daerah menjadi sangat penting untuk mempercepat proses penaggulangan kemiskinan. Peran pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan antara lain: Pertama, Membentuk dan memfungsikan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah/ TKPKD sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2005 dan Keputusan Mendagri Tentang Pembentukan TKPKD berdasarkan SE Mendagri No.412.6/3186/SJ

Kedua, Menyusun dokumen “ Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah/ SPKD” dengan fokus pada perencanaan dan penganggaran APBD yang pro-poor dan pro human development (meningkatkan persentase alokasi APBD untuk penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran). Ketiga, Pembentukan Kelompok Kerja BBN Daerah sebagai bagian dari TKPKD. Keempat, Membentuk “Desa Mandiri Energi” dan menentukan lahan yang dapat dikembangkan untuk BBN. Kelima, Membangun kerja sama kemitraan dengan stakeholders (pemerintah, dunia usaha, LSM, masyarakat madani)

Dalam usaha penanggulangan kemiskinan di daerah, setiap daerah diwajibkan memiliki SPKD sebagai dokumen resmi dan sebagai bahan acuan untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan kemsikinan. SPKD Merupakan dokumen strategi, kebijakan dan rencana aksi untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan di daerah

Tiap daerah harus memiliki SPKD karena Setiap daerah memiliki tingkat dan karakteristisk kemiskinan yang berbeda-beda, sehingga perlu penanganan yang berbeda dan spesifik sesuai dengan karakteristik daerah yang bersangkutan. Selain itu, Penanggulangan kemiskinan harus didekati selain dengan kebijakan makro pada tingkat nasional, juga harus didekati dengan kebijakan mikro-operasional pada tingkat daerah.

Menegaskan komitmen dan mendorong sinergi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi/kabupaten/kota dan seluruh pemangku kepentingan di daerah untuk memecahkan masalah kemiskinan.

SPKD juga diperlukan untuk membangun konsensus bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar dan pendekatan partisipatif dalam perumusan strategi dan kebijakan. Serta untuk menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan.

Di muat di Majalah KOMITE Edisi Oktober 2006

Tidak ada komentar: